Wednesday, December 31, 2008

Mendongkrak Self Esteem

http://zulfa4wliya.wordpress.com
Posted by zulfa4wliya
5 Jurus memompa self esteem..
Self esteem adalah berpikir setinggi mungkin sebagaimana halnya anda pikirkan terhadap teman anda. Self (anda) esteem ( lebih menyukai..)artinya anda menyukai diri anda sebanyak mungkin, baik yang di dalam maupun luar anda.Self esteem juga berarti anda memberikan penghargaan pada harga diri anda sendiri maupun pentingnya anda.
Apakah anda merasa tersiksa dengan self esteem anda yang rendah, sehingga hal ini mempengaruhi seluruh ruang kehidupan anda?
Abraham Maslow mendeskripsikan bahwa ada dua bentuk kebutuhan self esteem ini, pertama: kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan/respect dari orang lain, kedua : kebutuhan mendapatkan pengakuan dari pribadi sendiri.
Self respect/pengakuan dari diri sendiri mencakup rasa percaya diri (feeling of confidence), prestasi, kompetensi dan ketidak tergantungan. Penghargaan atau pengakuan dari orang lain mencakup: penerimaan, apresiasi, pengakuan (recognition). Maslow menandaskan bahwa jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak dipenuhi akan menimbulkan ketidakpercayaan diri, ketidakberanian, lemah dan rendah diri/inferior…
Lantas bagaimana seseorang dapat meningkatkan self esteem-nya? Bagaimana anda merasakan diri anda dapat berbeda dari hari ke hari?
1. stop…jangan bandingkan diri anda dengan orang lain
Kita, secara alamiah, cenderung menggunakan orang lain untuk menilai dan mengukur penampilan, atribut atau kemampuan kita. Konsekuensinya kita sering merasa bahwa diri kita tidak sebanding dengan orang lain dalam pandanganmata kita sendiri atau kita merasa tidak beranjak kepada apa yang kita persepsikan sebagaimana yang diharapkan orang lain terhadap kita. Selalu saja ada orang lain yang lebih baik dalam berbagai cara/segi dari pada anda tapi sekedar bagian dari kekayaan atau perbedaan hidup dan anda memilki beribu atribut lain yang tidak dimiliki orang lain. Jadi konsentrasikan pada apa yang anda miliki daripada apa yang tidak anda miliki.
Apakah hal ini benar-benar menjadi masalah mengenai apa yang dipikirkan orang lain tentang anda? Ketika kita muda, kita mencoba untukmemenuhi apa yang menjadi harapan keluarga, tapi pada suatu ketika kita beranjak dewasa dan tua kita seharusnya mencoba dan ….pada harapan sendiri berbdasarkan pada apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup ini. Saya sering mengingatkan ddiri sendiri: “apa yang orang lain pikirkan tentang diriku adalah bukan urusanku”
2. Yang berlalu biarlah berlalu
Seringkali kita menguras waktu dan energi pikiran untuk memikirkan kesalahan yang telah lewat dan membiarkan hal ini mengkontrol perasaan dan pikiran kita saat ini. Setiap orang membuat kesalahan dan kita harus dapat memaafkan dan melupakan siapa yang berlawanan dan kita harus tetap maju.
Mirip dengan hal ini adalah jika anda masih terus menyalahkan diri anada atas kesalahan yang telah lewat, anggaplah ini sebagai pelajaran yang anda dapatkan dan tetaplah terus melaju. Lebih dari ini, berkonsentrasilah pada achievement/ketangkkasan/ketrampilan anda, walau hanya sejenak dan setiap hari, hal ini dapat membangun self esteem anda.
3. Terimalah diri anda sebagai pribadi yang unik.
Anda adalah unik…jadi terimalah diri anda sebagai adanya. Tentu dunia ini akan membosankan mnakala dihuni oleh orang yang sama, khususnya manakala kita semua sempurna. Jadi pikirkanlah mengenai apa yang anda inginkan dalam hidup ini, bukan apa yang kamu pikirkan apa yang seharusnya kamu inginkan berdasarkan atas apa yang kamu pikirkan orang lain harapkan. Ini adalah mengenai kamu hidup dalam kehidupan kamu bukan mereka
Salahsatu cara menguatkan self esteem ini adalah dengan berolah raga, tidak harus olah raga berat, cukup
dengan jalan-jalan 2-3kali dalam seminggu akan meningkatkan kadar horman rasa nyaman. Aktivitas outdoors juga dapat mendorong
untuk berpikir positif.
4. Buatlah buku jurnal pribadi
Membuat jurnal pribadi rasanya merupakan pekerjaaan berat tapi sesungguhnya hal ini merupakan pengalaman yang sangat berharga. Anda perlu memperbarui jurnal ini secara berkala tapi tidak harus setiap hari. Sebagai awalnya, anda dapat menulis hal-hal yang berkualitas dari diri anda. Anda tidak harus berpikir untuk menuliskannya semua, tapi anda dapat menambahkannya kemudian. Dengan melihat catatan ini dan setiap kali mereviewnya akan menguatkan kembali pikiran anda.
Begitu pula daftarlah prestasi anda dalam jurnal harian ini sehinga anda dapat menambahkannya kemudian dan mengadakan review sepanjang waktu.
Dalam jurnal ini anda dapat menuliskan peraan anda dan mungkin juga hal-hal yang memicu menurunnya self esteem anda. Sementara anda berusaha untuk memompa self esteem, anda dapat melihat kebelakang hal-hal yang mendorong kemajuan dan mengapa ada waktu-waktu tertentu dimana anda dapat mencapai self esteem yang tinggi maupun yang rendah. Kemajuan-kemajaun ini ada masanya sendiri, anda mungkin tidak menyadarinya bila anda tidak mencatatnya.
5. Tentukan beberapa tujuan.
Jika anda menghendaki perubahan dalam hidup anda, anda perlu membuat tujuan yang lebih khusus lagi. Cara terbaik untuk meraihnya adalah dengan menuliskannya, di buku jurnal tentu lebih baik.
Belajar akan memperlihatkan bahwa anda akan dapat meraih sasaran dan tujuan anda jika anda mencatatnya dan mereviewnya sevra berkala. Realistislah dengan tujuan anda dan buatlah jangka waktu untuk mencapainya. Jika anda gagal mencapai sesuai waktu yang ditargetkan, jangan anda merasa gagal, tapi set ulang tujuan ini dan ukuran yang lebih jelas.
Kesimpulannya adalah, self esteem yang lebih baik akan mungkin anda raih jika anda mau mengkontrol hidup anda dan proses berpikir.

Tuesday, December 30, 2008

Membentuk Anak Mandiri

Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri. Kemandirian fisik adalah kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Sedang kemandirian psikologis adalah kemampuan untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah sendiri.
Ketidakmandirian fisik bisa berakibat pada ketidakmandirian psikologis. Anak yang selalu dibantu akan selalu tergantung pada orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Akibatnya, ketika ia menghadapi masalah, ia akan mengharapkan bantuan orang lain untuk mengambil keputusan bagi dirinya dan memecahkan masalahnya.
Menurut Dra. Mayke Sugianto Tedjasaputra, M.Si., dosen Psikologi Perkembangan Universitas Indonesia Jakarta, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian anak :
1. Faktor bawaan.
Ada anak yang berpembawaan mandiri, ada yang memang suka dan menikmati jika dibantu orang lain
2. Pola asuh.
Bisa saja anak berpembawaan mandiri menjadi tidak mandiri karena sikap orang tua yang selalu membantu dan melayani.
3. Kondisi fisik anak.
Anak yang kurang cerdas atau memiliki penyakit bawaan, bisa saja diperlakukan lebih “istimewa” ketimbang saudara-saudaranya sehingga malah menjadikan anak tidak mandiri.
4. Urutan kelahiran.
Anak sulung cenderung lebih diperhatikan, dilindungi, dibantu, apalagi orang tua belum cukup berpengalaman. Anak bungsu cenderung dimanja, apalagi bila selisih usianya cukup jauh dari kakaknya.
Untuk mengajarkan anak menjadi mandiri, sangat penting bagi orang tua untuk tidak memberikan bantuan dan perlindungan yang berlebihan kepada anak. Menurut Dra. Tjut Rifameutia Ali-Napis, M.A, dosen Psikologi Pendidikan dari Universitas Indonesia, bantuan berlebihan bisa mensugesti anak bahwa ia tidak mampu melakukan sesuatu sendiri.
Ada dua alasan yang menyebabkan orang tua cenderung memberikan bantuan dan perlindungan berlebihan. Yang pertama karena khawatir. Padahal, orang tua yang terlalu khawatir akan membatasi anak untuk mencoba kemampuannya.
Bila perlindungan berlebihan berlanjut terus sejalan dengan bertambahnya usia anak, maka anak akan selalu mengharapkan bantuan orang lain setiap kali ia menghadapi masalah.
Alasan kedua, karena orang tua tidak sabar. Ketimbang menunggu anak berusaha memakai sepatunya sendiri, orang tua cenderung lekas membantu agar cepat selesai. Akibatnya, anak tidak memperoleh kesempatan untuk mencoba.
Belajar mandiri memerlukan bantuan dan bimbingan orang tua. Hasilnya akan nampak bila orang tua rajin dan konsisten memberikan stimulus. Kemandirian hanya bisa dicapai melalui suatu tahapan yang sesuai dengan perkembangan usia anak. Misalnya, anak usia 6 tahun tidak bisa begitu saja dapat makan sendiri bila tidak pernah diberi kesempatan memegang sendok sejak usia 18 bulan.
Oleh karena itu, latihan kemandirian mesti dimulai sejak dini sesuai dengan usianya. Orang tua tidak dapat hanya mengandalkan sekolah untuk menempa anak menjadi mandiri, karena anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketimbang di sekolah.
Untuk dapat mengukur kemandirian anak, maka diperlukan pengetahuan mengenai kemampuan apa saja yang bisa diajarkan padanya. Bila kemampuan-kemampuan itu belum dikuasai pada usia yang seharusnya, maka si anak bisa dikategorikan tidak mandiri. Anak usia SD masih disuapi dan dimandikan, misalnya, bisa disebut sebagai anak yang tidak mandiri.
PENILAIAN TINGKAT KEMANDIRIAN SESUAI USIA DAN STIMULUS YANG PERLU DIBERIKAN
Diperlukan ketekunan dan kesabaran orang tua untuk melatih anak menjadi mandiri sesuai usianya. Perlu diingat, keberhasilan yang dicapai anak pada tiap tahapan usia akan berbeda-beda, sesuai stimulus yang diberikan kepadanya.
BAYI
Menurut Dra. Michiko Mamesah, M.Psi dari Universitas Negeri Jakarta, sejak usia 4 bulan bayi sudah bisa diajar beraktivitas menggunakan tangan sebagai dasar keterampilan membantu diri.
1. Meraih dan memasukkan makanan (mulai usia 6 bulan)
Stimulus : letakkan biskuit di piring atau acungkan ke depan bayi. Usahakan terlihat oleh bayi sehingga ia akan berusaha meraihnya.
2. Memegang gelas dan meminum isinya (mulai usia 9 bulan)
Stimulus : sediakan cangkir bergagang dari plastik atau melamin. Isi dengan sedikit air dan biarkan bayi meraih sendiri dan meminum isinya. Biarkan bila ada yang tumpah atau berceceran di baju. Melalui dua aktivitas ini, bayi akan belajar bahwa ia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, yaitu makan dan minum tanpa bantuan orang lain.
3. Merentangkan tangan dan kaki saat mengenakan pakaian (mulai usia 10 – 11 bulan)
Stimulus : katakan,” Adek, Mama pakaikan baju ya.. Ayo angkat tangannya..”. Ulanglah kalimat tersebut sampai anak mau mengikutinya. Bayi akan belajar bahwa ia dapat melakukan sesuatu untuk memudahkan kita saat membantunya berpakaian.
4. Melepas topi dan kaus kaki (mulai usia 11 - 12 bulan)
Ini adalah dasar kemampuan anak untuk melepas pakaian.
Stimulus : berikan contoh bagaimana cara melepas topi atau kaus kaki. Coba untuk memasangkan topi atau kaus kakinya lagi. Umumnya anak akan mencoba melepaskan karena rasa ingin tahu yang besar. Lakukan berulang-ulang agar anak mendapat banyak kesempatan untuk mencoba.
5. Melakukan dua tugas sekaligus (mulai usia 12 bulan)
Stimulus : berikan biskuit, biarkan ia meraih dengan salah satu tangan. Lalu berikan mainan, biarkan ia meraih dengan tangan yang masih kosong. Bila ia memasukkan mainan, beri tahu ia bahwa mainan tidak boleh dimasukkan ke mulut, sedangkan biskuit boleh. Kemampuan seperti ini akan menjadi dasar yang membuat anak bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus.
ANAK USIA 1 – 3 TAHUN
Menurut Dra. Michiko Mamesah, M.Psi dari Universitas Negeri Jakarta, anak usia di atas satu tahun sudah memiliki lebih banyak kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Berbagai kemampuan motorik dan interaksi dengan lingkungan juga sudah lebih berkembang.
1. Minum dari gelas tanpa bantuan (mulai usia 15 bulan)
Stimulus : berikan gelas platik berisi air yang tidak terlalu penuh. Minta anak memegang sendiri dengan tangannya. Biarkan ia melakukannya sambil berdiri atau berjalan. Ganti jenis gelas (gelas bergagang dan tidak bergagang) untuk melatih motorik halusnya.
2. Memakai sendok untuk makan (mulai usia 18 bulan)
Stimulus : berikan sendok dan piring berisi makanan porsi kecil dan biarkan anak mencoba menyuap sendiri makanannya. Maklumi bila makanan masih tumpah dan berhamburan.
3. Membuka sepatu, celana dan baju sendiri (mulai usia 2 tahun) serta ristleting (mulai 3 tahun)
Stimulus : awali dengan melatih anak membuka sepatu tak bertali atau kaus singlet yang mudah dilepas. Tunjukkan cara menarik sepatu dari telapak kaki atau menarik kaus ke atas kepala. Ulangi contoh bila anak masih mengalami kesulitan. Bila anak sudah mahir, tingkatkan dengan baju berkancing. Ajari cara membuka dan menutup ristleting dengan hati-hati. Bila anak masih ragu, tunggu sampai ia bisa melakukan dengan benar sehingga terhindar dari trauma akibat terjepit ristleting.
4. Meraih gelas di atas meja dan meneguk minuman (mulai usia 2 tahun)
Stimulus : letakkan gelas berisi minuman dalam jangkauan anak, sehingga ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri saat ia merasa haus. Bila sudah mahir, tingkatkan dengan memberinya contoh cara menuang air dari teko atau memencet tombol dispenser. Pada tahap ini, orang tua perlu berhati-hati ketika meletakkan minuman panas di atas meja dan disarankan mematikan tombol air panas pada dispenser.
5. Membuka pintu (mulai usia 2 – 2.5 tahun)
Stimulus : umumnya anak lebih mudah belajar dengan pengangan pintu bertangkai ketimbang bulat. Setiap anak akan keluar kamar, berikan contoh bagaimana cara memutar dan menarik gagang pintu, sambil dijelaskan dengan kata-kata sederhana. Letakkan tangan anak pada pegangan pintu dan bantu ia memutar ke arah yang benar.
6. Mengatakan ingin buang air (mulai usia 2 – 2.5 tahun)
Stimulus : cermati kebiasaan anak sebelum BAK dan BAB. Bila Anda melihat dorongan ingin BAK atau BAB, tanyakan kepadanya. Dorong ia untuk mengungkapkan kenginan tersebut. Ajak ia ke kamar mandi, dan jelaskan bahwa BAK dan BAB hanya dilakukan di kamar mandi meskipun si kecil belum bisa melakukannya sendiri.
Pada tahapan usia ini, sangat penting bagi orang tua untuk tidak memberikan bantuan dan perlindungan yang berlebihan. Ketika anak berusia 1.5 tahun, ia akan mulai menjelajah, menantang dirinya sendiri melakukan sesuatu yang sulit seperti menaiki tangga atau memasuki lorong sempit. Tidak seperti tahapan usia sebelumnya, dimana apapun yang dilakukan anak ditentukan oleh orang tua atau pengasuh, pada usia ini anak mulai memiliki kemauan untuk melakukan apa yang diinginkannya. Bila ia ternyata bisa melakukannya, akan timbul rasa memiliki kemampuan. Apalagi bila saat itu orang tua memberinya pujian, ia akan merasa bangga dan makin terpacu untuk menunjukkan kemampuannya. Inilah modal bagi anak untuk mengembangkan kemandirian dan kepercayaan dirinya.
Dirangkum dari berbagai sumber, dengan www.tabloid-nakita.com sebagai sumber utama

Kenakalan Remaja

Ada seorang Ibu yang tinggal di Jakarta bercerita bahwa sejak maraknya kasus tawuran pelajar di Jakarta, Beliau mengambil inisiatif untuk mengantar dan menjemput anaknya yang sudah SMU, sebuah kebiasaan yang belum pernah Beliau lakukan sebelumnya. Bagaimana tidak ngeri, kalau pelajar yang tidak ikut-ikutan-pun ikut diserang ?
Mengapa para pelajar itu begitu sering tawuran, seakan-akan mereka sudah tidak memiliki akal sehat, dan tidak bisa berpikir mana yang berguna dan mana yang tidak ? Mengapa pula para remaja banyak yang terlibat narkoba dan seks bebas ? Apa yang salah dari semua ini ?
Seperti yang sudah diulas dalam artikel lain di situs ini, remaja adalah mereka yang berusia antara 12 - 21 tahun. Remaja akan mengalami periode perkembangan fisik dan psikis sebagai berikut :
• Masa Pra-pubertas (12 - 13 tahun)
• Masa pubertas (14 - 16 tahun)
• Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
• Dan periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ-organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja. Di samping itu, perkembangan intelektualitas yang sangat pesat jga terjadi pada fase ini. Akibatnya, remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut.
Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara.
Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele, tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat. Orang tua tidak boleh berpikir, "Ya ampun... itu kan hal kecil. Masa kamu tidak bisa menyelesaikannya ? Bodoh sekali kamu !", dan sebagainya. Tetapi perhatian seolah-olah orang tua mengerti bahwa masalah itu berat sekali bagi remajanya, akan terekam dalam otak remaja itu bahwa orang tuanya adalah jalan keluar ang terbaik baginya. Ini akan mempermudah orang tua untuk mengarahkan perkembangan psikis anaknya.
Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini.
Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri.
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka. Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan psikologis belum tercapai sepenuhnya.
Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini.
Kenakalan remaja
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.
________________________________________

Stres dan Penanggulangannya

Hidup manusia ditandai oleh usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, baik fisik, mental-emosional, material maupun spiritual. Bila kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik, berarti tercapai keseimbangan dan kepuasan. Tetapi pada kenyataannya seringkali usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut mendapat banyak rintangan dan hambatan.
Tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan hidup ini sering membawa manusia berada dalam keadaan stress. Stress dapat dialami oleh segala lapisan umur.
Stress dapat bersifat fisik, biologis dan psikologis. Kuman-kuman penyakit yang menyerang tubuh manusia menimbulkan stress biologis yang menimbulkan berbagai reaksi pertahanan tubuh. Sedangkan stress psikologis dapat bersumber dari beberapa hal yang dapat menimbulkan gangguan rasa sejahtera dan keseimbangan hidup.
SUMBER STRESS
Sumber stress dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk:
1. Krisis
Krisis adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan keseimbangan seseorang diluar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari. Misalnya: krisis di bidang usaha, hubungan keluarga dan sebagainya.
2. Frutrasi
Frustrasi adaah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau, kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya.
3. Konflik
Konflik adalah pertentangan antara 2 keinginan/dorongan yaitu antara kekuatan dorongan naluri dan kekuatan yang mengenalikan dorongan-dorongan naluri tersebut.
4. Tekanan
Stress dapat ditimbulkan tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang besar yang harus ditanggungnya. (Dari dalam diri sendiri: cita-cita, kepala keluarga, dan sebagainya dan dari luar: istri yang terlalu menuntut, orangtua yang menginginkan anaknya berprestasi).
AKIBAT STRESS
Akibat stress tergantung dari reaksi seseorang terhadap stress. Umumnya stress yang berlarut-larut menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan, kehilangan rasa aman, harga diri terancam, gelisah, keluar keringat dingin, jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit atau suka makan dan sulit tidur). Kecemasan yang berat dan berlangsung lama akan menurunkan kemampuan dan efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai macam gangguan jiwa.
REAKSI TERHADAP STRESS
Reaksi seseorang terhadap stress berbeda-beda tergantung dari:
1. Tingkat kedewasaan kepribadian
2. Pendidikan dan pengalaman hidup seseorang
Reaksi psikologis yang mungkin timbul dalam menghadapi stress:
1. menghadapi langsung dengan segala resikonya.
2. menarik diri dan tak tahu menahu tentang persoalan yang dihadapinya/lari dari kenyataan.
3. menggunakan mekanisme pertahanan diri.
PENANGGULANGAN STRESS
• Mengenal dan menyadari sumber-sumber stress.
• Membina kedewasaan kepribadian melalui pendidikan dan pengalaman hidup.
• Mengembangan hidup sehat. Antara lain dengan cara: merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, tidak tergesa-gesa ingin mencapai keinginannya, menyadari perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, dan sebagain
• ya.
• Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala sesuatu yang terjadi dengan tetap beriman kepadaNYa.
• Minta bimbingan kepada sahabat dekat, orang-orang yang lebih dewasa, psikolog, orang yang dewasa rohaninya, dan sebagainya).
• Hindarkan sikap-sikap negatif antara lain: memberontak terhadap keadaan, sikap apatis, marah-marah. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuka masalah baru.
Selamat mencoba ..........

Kecerdasan Emosional

Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:
• empati (memahami orang lain secara mendalam)
• mengungkapkan dan memahami perasaan
• mengendalikan amarah
• kemandirian
• kemampuan menyesuaikan diri
• disukai
• kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
• kesetiakawanan
• keramahan
• sikap hormat
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
• membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
• bekerja dalam kelompok secara harmonis
• berbicara dan mendengarkan secara efektif
• mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
• mengatasi masalah dengan teman yang nakal
• berempati pada sesama
• memecahkan masalah
• mengatasi konflik
• membangkitkan rasa humor
• memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
• menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
• menjalin keakraban
Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.

Mengenal & Membimbing Anak Hiperaktif

Apa sebenarnya yang disebut hiperaktif itu ? Gangguan hiperaktif sesungguhnya sudah dikenal sejak sekitar tahun 1900 di tengah dunia medis. Pada perkembangan selanjutnya mulai muncul istilah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity disorder). Untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif, harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif.
Inatensi
Inatensi atau pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain.
Hiperaktif
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Impulsif
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif
• Problem di sekolah
Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa
• Problem di rumah
Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak.
• Problem berbicara
Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat.
• Problem fisik
Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak :
Faktor neurologik
• Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif
• Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi
• Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan
Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif.
Faktor genetik
Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar.
Faktor psikososial dan lingkungan
Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara orang tua dengan anaknya.
Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif :
• Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas
• Kenali kelebihan dan bakat anak
• Membantu anak dalam bersosialisasi
• Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib), memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak
• Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya
• Menerima keterbatasan anak
• Membangkitkan rasa percaya diri anak
• Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya
Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya

htmMengenal Autisme

htmMengenal Autisme

Banyak sekali definisi yang beredar tentang apa itu Autisme. Tetapi secara garis besar, Autisme, adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pada anak-anak biasa disebut dengan Autisme Infantil.
Schizophrenia juga merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri : berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri.
Tetapi ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari Autisme pada penderita Schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan.
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang Ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata.
Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak, digunakan standar internasional tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah :
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini :
• Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju
• Tidak bisa bermain dengan teman sebaya
• Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain)
• Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :
• Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal
• Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
• Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
• Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru
(3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :
• Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan
• Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
• Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
• Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif.
Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak.
Namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktivitas.
Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2 penyandang autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal dan berprestasi. Di Amerika, di mana penyandang autisme ditangani secara lebih serius, persentase kesembuhan lebih besar.
Bila Anda membutuhkan informasi yang lebih detail tentang autisme, silakan menghubungi alamat di bawah ini :
P2GPA
Pusat Pelayanan Gangguan Perkembangan Anak
Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata
Jl. Imam Bonjol 186 A, Semarang 50132
Telp. 024 - 554613
POPAA
Perkumpulan Orangtua Pembina Anak Autistik
Jl. Erlangga Tengah III/34, Semarang
Telp. 024 - 313083
Yayasan Autisma Indonesia
Jl. Buncit Raya No. 55, Jakarta Pusat
Telp. 021 - 7971945 - 7991355
________________________________________

Pengaruh Musik pada Anak

Penelitian membuktikan bahwa musik, terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembangan IQ (Intelegent Quotien) dan EQ (Emotional Quotien). Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik. Yang dimaksud musik di sini adalah musik yang memiliki irama teratur dan nada-nada yang teratur, bukan nada-nada "miring". Tingkat kedisiplinan anak yang sering mendengarkan musik juga lebih baik dibanding dengan anak yang jarang mendengarkan musik.
Grace Sudargo, seorang musisi dan pendidik mengatakan, "Dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari ritme denyut nadi manusia sehingga ia berperan besar dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga manusia".
Penelitian menunjukkan, musik klasik yang mengandung komposisi nada berfluktuasi antara nada tinggi dan nada rendah akan merangsang kuadran C pada otak. Sampai usia 4 tahun, kuadran B dan C pada otak anak-anak akan berkembang hingga 80 % dengan musik.
"Musik sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki 3 bagian penting yaitu beat, ritme, dan harmony", demikian kata Ev. Andreas Christanday dalam suatu ceramah musik. "Beat mempengaruhi tubuh, ritme mempengaruhi jiwa, sedangkan harmony mempengaruhi roh". Contoh paling nyata bahwa beat sangat mempengaruhi tubuh adalah dalam konser musik rock. Bisa dipastikan tidak ada penonton maupun pemain dalam konser musik rock yang tubuhnya tidak bergerak. Semuanya bergoyang dengan dahsyat, bahkan cenderung lepas kontrol. Kita masih ingat dengan "head banger", suatu gerakan memutar-mutar kepala mengikuti irama music rock yang kencang. Dan tubuh itu mengikutinya seakan tanpa rasa lelah. Jika hati kita sedang susah, cobalah mendengarkan musik yang indah, yang memiliki irama (ritme) yang teratur. Perasaan kita akan lebih enak dan enteng. Bahkan di luar negeri, pihak rumah sakit banyak memperdengarkan lagu-lagu indah untuk membantu penyembuhan para pasiennya. Itu suatu bukti, bahwa ritme sangat mempengaruhi jiwa manusia. Sedangkan harmony sangat mempengaruhi roh. Jika kita menonton film horor, selalu terdengar harmony (melodi) yang menyayat hati, yang membuat bulu kuduk kita berdiri. Dalam ritual-ritual keagamaan juga banyak digunakan harmony yang membawa roh manusia masuk ke dalam alam penyembahan. Di dalam meditasi, manusia mendengar harmony dari suara-suara alam disekelilingnya. "Musik yang baik bagi kehidupan manusia adalah musik yang seimbang antara beat, ritme, dan harmony", ujar Ev. Andreas Christanday.
Seorang ahli biofisika telah melakukan suatu percobaan tentang pengaruh musik bagi kehidupan makhluk hidup. Dua tanaman dari jenis dan umur yang sama diletakkan pada tempat yang berbeda. Yang satu diletakkan dekat dengan pengeras suara (speaker) yang menyajikan lagu-lagu slow rock dan heavy rock, sedangkan tanaman yang lain diletakkan dekat dengan speaker yang memperdengarkan lagu-lagu yang indah dan berirama teratur. Dalam beberapa hari terjadi perbedaan yang sangat mencolok. Tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu rock menjadi layu dan mati, sedangkan tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu indah tumbuh segar dan berbunga. Suatu bukti nyata bahwa musik sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup.
Alam semesta tercipta dengan musik alam yang sangat indah. Gemuruh ombak di laut, deru angin di gunung, dan rintik hujan merupakan musik alam yang sangat indah. Dan sudah terbukti, bagaimana pengaruh musik alam itu bagi kehidupan manusia.
Wulaningrum Wibisono, S.Psi mengatakan, "Jikalau Anda merasakan hari ini begitu berat, coba periksa lagi hidup Anda pada hari ini. Jangan-jangan Anda belum mendengarkan musik dan bernyanyi".
________________________________________

Berkomunikasi dengan Anak, Sulitkah?

Nopember 22, 2008
Sumber : Kompas l Minggu, 2 Maret 2008 | 17:55 WIB
Oleh : Sawitri Supardi Sadarjoen
KEBANYAKAN orangtua berpendapat, kalau anaknya pendiam atau sibuk bermain sendiri, berarti anaknya manis, penurut, mandiri, dan tidak perlu mendapat perhatian khusus.
Sementara kebanyakan orangtua yang disibukkan oleh anak yang sangat rewel, sering memberi sebutan anak itu nakal, banyak maunya, dan tidak menurut.
Terhadap anak yang pendiam, mandiri, dan selalu menyiapkan keperluan sekolah sendiri, orangtua merasa segala hal sudah tercukupkan karena anak tersebut memang pada dasarnya anak manis yang penurut dan tahu akan kewajibannya.
Namun, dapat terjadi orangtua dikejutkan perilaku anak yang semula manis, penurut, dan tahu kewajiban tersebut tiba-tiba mogok sekolah, tidak kooperatif, serta menunjukkan sikap melawan orangtua. Apa pun yang disarankan orangtua seolah mental dan tidak berpengaruh. Anak jadi mengurung diri dan baru keluar kamar bila lapar atau perlu ke kamar mandi.
Orangtua menjadi bingung. Anak dimarahi dan dibentak dengan ungkapan, “Ngomong dong, ada apa, kenapa enggak mau sekolah!” Bahkan dipukul sekalipun anak bergeming, malahan bisa mengatakan, “Bunuh saja saya sekalian.” Walaupun, setelah beberapa saat anak akhirnya mau membuka mulut, menceritakan sepintas kenapa dia mogok sekolah.

Ternyata anak mendapat pelecehan dari teman-teman di kelas, dimusuhi sebagian besar teman kelasnya, bahkan dikata-katai. Tekanan emosional yang dialami anak sudah sedemikian besar dan tidak tertanggulangi lagi sehingga anak memutuskan mogok sekolah. Apa pun upaya orangtua dan guru untuk menarik kembali anak ke sekolah tidak berhasil. Anak tetap mengurung diri dengan konsekuensi tidak naik kelas. Sementara untuk pindah sekolah dan tidak naik kelas menuntut upaya khusus bagi anak dalam beradaptasi. Masalah semakin kompleks bagi anak di kemudian hari, apalagi bila kemudian ia juga mengalami kesulitan adaptasi dengan lingkungan baru.
Menyimak kasus anak mogok sekolah tersebut, kita dapat menyimpulkan, di balik perilaku mogok sekolah yang dilakukan anak tersebut, tersirat masalah yang lebih serius, yaitu kenyataan selama ini anak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orangtua.
Andaikan anak terbiasa terbuka kepada orangtua dan mampu dengan lancar mengutarakan perasaan dan pengalaman di sekolah, maka sebelum masalah yang dialami menjadi separah itu, orangtua dengan cepat bisa meminta guru membantu anak mengatasi masalah pelecehan yang dilakukan teman sekelas terhadap anak tersebut sehingga terhindar dari kemungkinan ekses dari pelecehan tersebut terhadap kelanjutan studi anak.
Yang terpenting, anak merasa didengar dan didukung orangtua manakala ia membutuhkan. Perasaan ini merupakan esensi dari rasa aman anak yang dibutuhkan bagi tumbuh kembang kepribadian anak di kemudian hari.
Mendengar anak
Mendengar efektif bukan hal mudah. Anak-anak dan remaja sering mengamati, orangtuanya tidak mendengarkan apa yang mereka ungkapkan.
“Ibu saya selalu teriak kalau saya baru akan mengutarakan perasaan saya secara jujur.”
“Ayah saya lebih mendengarkan kakak daripada saya, jadi saya lebih baik diam saja.”
Sebaliknya, orangtua juga mengatakan seperti berikut:
“Kalaupun saya bertanya, anak nomor dua ini tidak pernah bercerita apa pun tentang sekolahnya.”
“Setiap kali saya mulai bicara tentang sesuatu yang penting, dia hanya menjawab, ‘Ah, Papah’, sambil terus pergi meninggalkan saya.”
Menyimak contoh komunikasi tersebut, kita dapat menyimpulkan, baik anak, remaja, maupun orangtua membutuhkan dirinya diterima dan dihargai baru mereka dapat menjalin komunikasi efektif. Biasanya, daripada merasa ditolak, mereka lebih memilih menghindari komunikasi sehingga terciptalah iklim relasi yang dingin, tidak hangat, tidak terpercaya, dan seperlunya.
Cara meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan anak, antara lain:
1. Ciptakanlah situasi yang nyaman dengan anak, sekitar 15 menit. Misalnya, saat-saat sebelum makan malam atau sesudah makan malam dengan mengawali komunikasi tentang hal-hal ringan sambil tidak memaksa anak bicara.
Saat akhir minggu mintalah anak memilih permainan atau aktivitas yang anak sukai dan bisa dilakukan bersama orangtua. Misalnya, bermain ular tangga atau main kartu remi (cangkulan) yang juga bisa diikuti anak yang lain. Atas dasar pengalaman bermain santai, anak akan dengan sendirinya menumbuhkan rasa percaya kepada orangtua dan merasa diterima kehadirannya di hadapan orangtua.
2. Mulailah mendengar dan saling berbagi cerita, bisa bergantian menceritakan artikel yang dibaca atau mulai mendengar keluhan anak tanpa mengadili atau memberikan saran apa yang harus dilakukan anak.
3. Lakukan kontak mata yang luwes dan bersahabat saat mendengar cerita anak.
4. Jadilah diri sendiri apa adanya, artinya tidak perlu menjaga gengsi sebagai orangtua. Bersikaplah rileks dan tanggapilah ungkapan dan pendapat anak dengan sikap terbuka dan jujur. Tidak perlu harus menunjukkan wibawa orangtua selalu benar. Terkadang anak juga ingin melihat orangtuanya bisa salah. Bila ternyata pendapat orangtua salah, cobalah bersama anak mencari jawaban yang benar sehingga anak akan merasa dihargai. Perasaan dihargai akan menunjang peluang berkembangnya perasaan dipercaya dan terpercaya.
Dengan memperbaiki komunikasi dengan anak dan meluangkan perhatian khusus kepada anak yang justru pendiam dan tampak bersikap manis, upaya preventif orangtua terhadap kemungkinan terjadinya gangguan perilaku anak, seperti mogok sekolah atau berbohong, akan berhasil secara optimal. Semoga

AGAR ANAK MENAATI PERATURAN

• Hal-hal yang perlu diterapkan dalam usaha mendisiplinkan anak :
• Mulailah dari hal-hal yang kecil dulu, kemudian secara bertahap ke tingkat selanjutnya.
• Awal dari disiplin adalah komunikasi yang baik dan sederhana.
• Konsisten pada aturan disiplin yang telah dibuat.
• Konsisten antara ayah-ibu supaya tidak menimbulkan kebingungan pada anak. Buatlah kesepakatan tentang peraturan yang harus dijalankan di rumah.
• Terapkan pemberian reward dan punishment (hukuman).
• Pemberian perintah dan aturan yang disertai dengan penjelasan mengapa harus begini, mengapa harus begitu.
• Mendampingi anak mengerjakan apa yang diperintahkan untuk menciptakan suasana yang menyenangkan, misalnya pada saat anak disuruh membereskan mainannya.
• Teknik disiplin yang digunakan, sebaiknya memakai dialog yang penuh kasih sayang dan kehangatan.
• Bahasa yang digunakan sebaiknya yang sederhana saja, apalagi si anak masih tergolong balita. Gunakan juga bahasa anak ( berdasarkan pada pola pikir animisme anak ) . Dengan demikian si anak akan lebih bisa menerimanya.
• Aturan disiplin dibuat sedemikian rupa sehingga bahaya dari luar / sisi negatifnya bisa diminimalkan.
• Perhatikan usia anak. Aturan disiplin akan berbeda-beda pada tiap tingkatan tahap perkembangan. Bila masih kecil (baru 1-2 tahun), kesabaran sangatlah mutlak karena mereka cenderung egosentris. Jadi, maklumlah.
• Hormati perasaan anak dan hargai juga waktunya.
• Berikan pilihan / alternatif.
• Kerahasiaan aturan disiplin supaya tidak menjatuhkan harga diri si anak.
• Peringatkan lebih awal tentang apa-apa yang harus dilakukannya supaya ia bisa bersiap-siap untuk aturan tersebut.
• Berikan perintah dengan tegas dan lebih spesifik.
• Tekankan pada hal-hal positif.
• Ketidaksetujuan baiknya ditujukan pada perilaku si anak, bukan si anak itu sendiri.
• Berikan contoh / teladan yang baik karena anak-anak bisa meniru perilaku orang tuanya. Dengan demikian, oang tua bukan hanya sebagai penegak aturan tetapi juga pelaksana aturan.
• Sertakan rasa humor.
Hal-hal yang harus dihindari dalam usaha mendisiplinkan anak :
 Terlalu sering memberi ancaman (lebih-lebih pada anak yang pandai) karena ia malah akan balik menantang.
 Mendisiplinkan anak dalam keadaan emosi.
 Aturan disiplin yang memaksa, otoriter, keras dan sangat ketat.
 Selalu mengatakan, “Aku ingin …” ( bagi orang tua ).
 Orang tua itu sendiri tidak disiplin, sehingga si anak pun menirunya.
Aturan-aturan yang penting saat memberikan reward kepada anak :
 Hadiah diberikan dengan tujuan tertentu, sebagai dorongan pada anak untuk tetap mempertahankan tingkah laku atau prestasinya yang baik.
 Bila tujuannya ingin mengubah tingkah laku anak sebaiknya jangan memberikan hadiah barang, kecuali untuk pertama kali dalam jangka waktu yang panjang, misalnya saat anak masuk sekolah, belikan tas atau buku.
 Bila anak sudah terlanjur menyukai hadiah barang, ubahlah dengan sikap yang sabar, ulet, dan konsisten. Perubahan ke hadiah non-barang pun harus dilakukan secara bertahap dan jangan memaksa.
 Kekompakan antara ayah dan ibu dalam memberikan reward.
 Bila akan memberikan hadiah non-barang, lakukan dengan sungguh-sungguh, dalma arti ungkapan kasih sayang, seperti pelukan atau ciuman diberi dengan tulus.
 Konsisten dalam memberi hadiah non-barang.
 Hadiah non-barang harus proporsional, efisien, dan tepat waktu.
 Adakan evaluasi seusai hadiah diberikan, apakah ada penguatan perilaku pada anak.
 Reward jangan diberikan secara berlebih-lebihan.
 Reward baiknya berujung pada reinforcement positif.
Aturan-aturan yang penting saat memberikan hukuman kepada anak :
 Jangan berikan pada anak yang masih tergolong balita karena mereka belum mengerti alasan mengapa mereka dihukum, akibatnya mereka bisa menjadi frustasi.
 Hukuman harus bersifat mendidik.
 Informasikan terlebih dahulu akan adanya sanksi tertentu dari perilakunya yang tidak menyenangkan orang tuanya.
 Adakan evaluasi seusai hukuman diberikan, apakah ada perubahan kesadaran dalam diri si anak.
 Jangan lakukan hukuman di bawah pengaruh emosi yang tak terkontrol.
 Hindarkan hukuman fisik.
 Berikan hukuman dengan tegas. Bila anak merengek jangan langsung lemah hati dan nyerah.
 Perhatikan korelasi antara hukuman dengan perilaku.
 Hukuman badan hanyalah dipandang sebagai jalan terakhir.
Beberapa fakta mengapa hadiah barang bisa menjadi tidak efektif :
 Anak menjadi materialistis.
 Anak menjadi konsumtif.
 Orang tua bisa tekor.
 Anak bersikap baik bukan karena kesadaran diri, tetapi karena keinginan untuk mendapatkan barang tersebut.
Beberapa fakta mengapa hukuman badan bisa menjadi tidak efektif :
 Anak menjadi frustasi.
 Anak bisa menjadi resisten (kebal) terhadap hukuman tersebut.
 Anak cenderung membiarkan dirinya dihukum daripada melakukan perbuatan yang diharapkan kepadanya.
 Anak cenderung melampiaskan kekesalannya pada hukuman tersebut dengan memukul anak lain.
 Menimbulkan dampak psikologis jangka panjang, di mana rasa marah, sakit hati dan jengkel akan dipendam selamanya oleh si anak.
 Akan terbentuk rasa ketidakberdayaan (sense of helplesness)
 Anak tidak akan belajar apapun dari hukuman badan.
Baik reward maupun hukuman, janganlah asal-asal diberikan, melainkan harus mapu membangun / mengukuhkan konsep diri di individu. Waktu diberikannya reward atau hukuman pun harus langsung pada saat perilaku yang diinginkan / tidak diinginkan itu terjadi. Jangan menundanya terlalu lama.

Ibu Bekerja &

Salah satu dampak krisis moneter adalah bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah menambah penghasilan keluarga...akhirnya kalau biasanya hanya ayah yang bekerja sekarang ibupun ikut bekerja.
Ibu yang ikut bekerja mempunyai banyak pilihan. Ada ibu yang memilih bekerja di rumah dan ada ibu yang memilih bekerja di luar rumah. Jika ibu memilih bekerja di luar rumah maka ibu harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar, dan sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu maka orang tua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan menderita kerugian.
Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya, anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk itu ibu atau orang tua harus bijaksana dalam menitipkan anak sewaktu orang tua bekerja.
Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik.
Untuk itu maka ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.
Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumahpun tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana.
Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja tetapi ayah juga harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga dengan baik.
________________________________________

PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI PENYANDANG ADHD

Posted by: melianaaryuni on: Agustus 12, 2008

PENDAHULUAN

Membicarakan anak tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang bermain. Bermain adalah dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang mereka inginkan. Tak diragukan bahwa anak-anak bermain sepanjang waktu yang mereka miliki.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, mulai akhir tahun 1800-an bermain dipandang sebagai aktivitas yang penting untuk anak. Sebelumnya, bermain hanya dipandang sebagai ekspresi dari kelebihan energi yang dimiliki anak-anak atau sebagai bagian dari ritual budaya dan agama. Seiring perkembangan waktu, pandangan para ahli tentang bermain berubah dan bermain dipandang sebagai perilaku yang bermakna. Misalnya, menurut Groos (Schaefer, et al., 1991) bermain dipandang sebagai ekspresi insting untuk berlatih peran di masa mendatang yang penting untuk bertahan hidup. Sedang Hall (dalam Schaefer, et al., 1991) melihat bermain sebagai rekapitulasi perkembangan suatu ras dan merupakan media yang penting untuk menyatakan kehidupan dalam diri (inner life) anak. Bahkan menurut Hall tidak ada alat yang dapat mengungkap jiwa anak sebaik permainan boneka.

DEFINISI TERAPI BERMAIN

Sebelum kita sampai pada penjelasan tentang terapi bermain, maka kita perlu memahami dulu tentang definisi bermain. Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi, ketrampilan sosial, ketrampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak (Landreth, 2001). Bermain juga dikatakan sebagai media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal, eksperimen dalam peran orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri. Bermain adalah bentuk ekspresi diri yang paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia. Bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat kompleks dan multi-dimensional, yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan dan perkembangan anak, yang lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan dengan kata-kata. Kesulitan dalam mendefinisikan permainan yang dapat diterima banyak pihak adalah karena tidak adanya satu set permainan yang dapat mencakup banyak tipe permainan.
Erikson (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan bermain sebagai suatu situasi dimana ego dapat bertransaksi dengan pengalaman dengan menciptakan situasi model dan juga dapat menguasai realitas melalui percobaan dan perencanaan. Moustakas (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan permainan sebagai ‘pembiaran pergi’, kebebasan untuk mengalami, membenamkan seseorang secara total dalam momen tersebut sehingga tidak ada lagi beda antara diri dan objek dan diri sendiri dan orang lain. Energi, hidup, spirit, kejutan, peleburan, kesadaran, pembaharuan, semuanya adalah kualitas dalam permainan.
Menurut McCune, Nicolich, & Fenson (dalam Schaefer, et al., 1991) bermain dibedakan dari perilaku yang lain dalam hal: (a) ditujukan demi kesenangan sendiri; (b) fokus lebih pada makna daripada hasil akhir; (c) diarahkan pada eksplorasi subjek untuk melakukan sesuatu pada objek; (d) tanpa mengharapkan hasil serius; (e) tidak diatur oleh aturan eksternal; (f) adanya keterikatan aktif dari pemainnya. Sedangkan Garvey dan Piaget menambahkan bahwa permainan haruslah: (a) menyenangkan; (b) spontan, sukarela, motivasinya instrinsik; (c) fleksibel; dan (d) berkait dengan pertumbuhan fisik dan kognitif.
Sementara Landreth (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.
International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang berpusat di Amerika, dalam situsnya di internet mendefinisikan terapi bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal dimana terapis bermain menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (www.a4pt.org).
Beberapa definisi terapi bermain tersebut mengarah pada beberapa hal penting, yaitu: (a) tipe dan jumlah permainan yang digunakan; (b) konteks permainan; (c) partisipan yang terlibat; (d) urutan permainan; (e) ruang yang digunakan; (f) gaya bermain; (g) tingkat usaha yang dicurahkan dalam permainan.
Berdasarkan banyak definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa permainan adalah aktivitas yang mengandung motivasi instrinsik, memberi kesenangan dan kepuasan bagi siapa yang terlibat, dan dipilih secara sukarela. Sementara terapi bermain adalah pemanfaatan permainan sebagai media yang efektif oleh terapis, untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri.

PERKEMBANGAN PERILAKU BERMAIN DALAM PENJANGKAAN KONDISI PSIKOLOGIS ANAK-ANAK

Perilaku bermain kemudian menjadi bagian yang penting dari teori-teori psikologi perkembangan. Tulisan Freud tentang perkembangan psikoseksual membuat komunitas ilmiah menaruh perhatian lebih kepada perkembangan awal masa kanak-kanak dan perilaku anak sebagai jalan untuk memahami perkembangan kepribadian masa dewasa. Freud berpendapat bahwa perilaku anak yang terlihat adalah refleksi dari masalah-masalah dan konflik-konflik yang tidak disadari. Kemudian Freud memperluas pandangannya bahwa perilaku bermain merupakan suatu penguasaan yang spesifik dari anak. Namun sejauh ini Freud baru melihat perilaku bermain dalam tataran konsep namun dalam pelaksanaan terapi belum digunakan. Baru oleh Melanie Klein dan Anna Freud (Schaefer, et al., 1991), bermain dimasukkan dalam proses terapiutik. Menggunakan dasar konsep psikoanalisa, mereka memasukkan dan mempopulerkan penggunaan alat-alat permainan dalam penanganan/tritmen yang efektif bagi anak-anak.
Tokoh lain yang mengembangkan permainan sebagai instrument dalam assessmen psikologis adalah Margaret Lowenfeld, yang memperkenalkan apa yang dia sebut “Teknik Miniatur Dunia”. Teknik ini merupakan sistem pertama dalam penggunaan mainan dan objek dalam bentuk mini (miniatur) secara terorganisasi, yang digunakan dalam terapi bermain. Tekniknya ini memperluas fokus perhatian para terapis dari sekedar menginterpretasi menjadi lebih banyak melakukan observasi secara formal dan metodis penggunaan permainan anak dalam situasi terapi. Namun sejauh itu Lowenfeld belum menganjurkan penggunaan teknik tersebut sebagai alat diagnostik.
Selanjutnya Erikson juga mulai mempublikasikan karyanya tentang anak dan remaja. Mendasarkan pada teori perkembangan psikososialnya, Erikson memandang bermain sebagai sebuah ekspresi kombinasi beberapa kekuatan, yaitu: perkembangan individual, dinamika keluarga, dan harapan masyarakat. Maka untuk melakukan observasi terhadap perilaku bermain, seorang observer harus paham betul bagaimana seorang anak dengan usia tertentu dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara tersebut maka observer dapat mengetahui dan memutuskan apakah perilaku subjek dalam bermain dapat dikatakan memiliki makna umum (normal) atau tidak normal. Seperti juga Freud, Erikson memandang permainan sebagai jalan mengetahui ketidaksadaran subjek.
Piaget dengan teorinya tentang perkembangan kognitif juga memberi perhatian pada perilaku bermain. Menurutnya, perubahan perilaku bermain menunjukkan perkembangan intelektual, sama seperti peningkatan kompetensi individu. Bermain juga menjadi media bagi individu untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya.
Tokoh lain yang mengembangkan penggunaan permainan dalam assessmen adalah Virginia Axline. Axline menyatukannya dengan pendekatan nondirective client-centered milik Rogers yang sebelumnya hanya untuk orang dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anak-anak menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas. Perasaan mereka, sikap, dan pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar memahami diri mereka dan orang lain dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa ketika bermain mereka dapat melakukan apapun, menciptakan dunia sendiri, menciptakan atau menghancurkan sesuatu.
Selama tahun-tahun 1930-an sampai 1960-an, bermain oleh para klinisi lebih dipandang sebagai tritmen daripada instrumen penjangka/assessmen. Namun kemudian beberapa ahli mengembangkan permainan sebagai alat diagnostik. Salah satu yang terkenal adalah “Teknik miniatur dunia” hasil karya Lowenfeld, yang dikatakan dapat menentukan taraf perkembangan fungsi anak, meliputi perkembangan : kemampuan bicara, motorik, intelektual, sosial, intrapsikis, dan perkembangan afektif. Setelah mengalami perkembangan yang bagus di tahun-tahun 1950-an, selanjutnya terapi bermain agak surut dan popularitasnya mulai menurun. Sekitar tahun 1960-an para profesional mulai beralih kepada tritmen yang perilakuan, dibatasi waktu, kognitif, dan berorientasi kepada keluarga dan model medis. Terapi bermain hanya menjadi salah satu diantara sekian banyak cara untuk melihat dan memperlakukan anak yang mengalami masalah emosional.
Pada tahun-tahun 1970 - 1980-an permainan anak kembali muncul sebagai teknik utama dalam memahami dan memberi tritmen pada anak. Kemudian para ahli banyak mengembangkan lebih banyak standar objektif untuk mengamati anak dan membanding-bandingkan perilaku bermain. Dengan standar tersebut maka para klinisi dapat memperoleh data tentang perilaku anak melalui permainan, dimana datanya lebih reliabel dan objektif.
Saat ini, perilaku bermain anak dipercaya merupakan refleksi dari bermacam aspek inner life anak, taraf perkembangan fungsi dan kemampuannya. Diantara karakteristik-karakteristik tersebut, yang dapat diamati melalui perilaku bermain anak adalah: perkembangan ego, corak kognitif, kemampuan adaptasi, fungsi bahasa, responsitas emosi dan perilaku, tingkat sosial, perkembangan moral, kemampuan intelektual, gaya coping, teknik pemecahan masalah, dan bagaimana anak memandang dan memaknai dunia disekitarnya.



PENYEBAB ADHD

Sampai saat ini belum jelas faktor apa yang dapat menyebabkan munculnya ADHD, meskipun banyak penelitian yang dilakukan dalam bidang neurologi dan ilmu genetika sepertinya menunjukkan sedikit titik terang. Banyak peneliti mencurigai faktor genetik dan biologis sebagai penyebab ADHD, meskipun lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang juga membantu menentukan perilaku anak yang spesifik.
Studi terhadap gambar otak menunjukkan bagian mana dari otak anak-anak ADHD yang tidak berfungsi dan penyebab tidak berfungsinya bagian itu belum diketahui, namun diduga berkaitan dengan mutasi beberapa gen. Selain faktor genetik tersebut, terdapat beberapa faktor yang sering dikatakan memiliki kontribusi dalam munculnya ADHD, diantaranya: kelahiran prematur, konsumsi alkohol dan tembakau (rokok) saat ibu hamil, terpapar timah dalam kadar tinggi, dan kerusakan otak sebelum lahir. Beberapa pihak lagi mengklaim bahwa zat aditif pada makanan, gula, ragi, dan pola asuh yang kering dapat memunculkan ADHD, namun pendapat ini kurang didukung fakta dan data yang akurat (Barkley, 1998; NIMH, 1999).

BAGAIMANA MENDETEKSI ANAK MENGALAMI ADHD?

Terkadang kita melihat ada anak-anak yang terlihat sangat aktif dan tidak memperhatikan jika belajar di kelas. Namun, hal tersebut dapat saja merupakan sesuatu yang normal jika kita tilik dari usia mereka. Kita dapat mengarahkan pada diagnosa ADHD jika perilaku yang muncul tersebut sangat tidak sesuai dengan usia perkembangan mereka.
Terdapat beberapa kriteria dalam DSM-IV yang membantu kita melakukan deteksi terhadap anak-anak dengan gangguan ADHD. Seorang anak harus menampakkan beberapa karakteristik untuk dapat didignosa secara klinis mengalami ADHD.
Keparahan  perilaku tersebut harus lebih sering muncul pada anak tersebut jika dibandingkan dengan anak-anak lain dalam tahap perkembangan yang sama
Waktu muncul  paling tidak beberapa gejala uncul sebelum usia 7 tahun
Durasi  perilaku harus sudah muncul paling tidak 6 bulan sebelum evaluasi
Dampak  gejala harus menimbulkan dampak negatif pada kehidupan akademik dan sosial anak.
Seting  gejala harus muncul pada beberapa seting dalam kehidupan anak.

Kriteria yang diberikan oleh DSM-IV untuk membantu kita menegakkan diagnosa ADHD dapat kita lihat berikut ini.
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau pekerjaan)
D. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
E. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).

TERAPI UNTUK PENYANDANG ADHD

Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan ADHD, namun telah tersedia beberapa pilihan tritmen yang telah terbukti efektif untuk menangani anak-anak dengan gejala ADHD. Strategi penanganan tersebut melibatkan aspek farmasi, perilaku, dan metode multimodal.
Metode perubahan perilaku bertujuan untuk memodifikasi lingkungan fisik dan sosial anak untuk mendukung perubahan perilaku (AAP, 2001). Pihak yang dilibatkan biasanya adalah orang tua, guru, psikolog, terapis kesehatan mental, dan dokter. Tipe pendekatan perilakuan meliputi training perilaku untuk guru dan orang tua, program yang sistematik untuk anak (penguatan positif dan token economy), terapi perilaku klinis (training pemecahan masalah dan ketrampilan sosial), dan tritmen kognitif-perilakuan/CBT (monitoring diri, self-reinforcement, instruksi verbal untuk diri sendiri, dll) (AAP, 2001).
Metode farmasi meliputi penggunaan psikostimulan, antidepresan, obat untuk cemas, antipsikotik, dan stabilisator suasana hati (NIMH, 2000). Harus diperhatikan bahwa penggunaan obat-obatan ini harus dibawah pengawasan ketat dokter dan ahli farmasi yang terus-menerus melakukan evaluasi terhadap efektivitas penggunaan dan dampaknya terhadap subjek tertentu.
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk menangani anak dengan ADHD adalah dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan dan metode penanganan. Penelitian yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak ADHD menunjukkan bahwa kombinasi terapi obat dan perilaku lebih efektif dibandingkan jika digunakan sendiri-sendiri. Tritmen multimodal khususnya efektif untuk meningkatkan ketrampilan sosial pada anak-anak ADHD yang diikuti gejala kecemasan atau depresi. Ternyata dosis obat yang digunakan lebih rendah jika diikuti dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku.
Salah satu terapi perilaku yang dapat diberikan bagi anak-anak ADHD adalah dalam bentuk permainan, yang kemudian sering disebut terapi bermain.

PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI ANAK ADHD
Berdasarkan luasnya batasan terapi bermain maka penerapannya bagi penyandang ADHD memerlukan batasan-batasan yang lebih spesifik, disesuaikan dengan karakteristik penyandang ADHD sendiri. Pada anak penyandang ADHD, terapi bermain dapat dilakukan untuk membantu mengendalikan aktivitas yang berlebihan (hiperaktivitas), melatih kemampuan mempertahankan perhatian pada objek tertentu, mengembangkan ketrampilan menunggu giliran, dan mengendalikan tingkat agresivitas. Tentu saja pemberian terapi perilaku ini akan kurang efektif tanpa dibarengi dengan tritmen yang berupa obat-obatan yang membantu untuk mengendalikan agresivitas, memberikan ketenangan kepada anak, dan mengurangi kecemasan.
Pada prinsipnya terapi bermain digunakan untuk menjadi media bagi anak untuk:
1. mengalihkan perhatiannya dari aktivitas yang berlebihan namun tidak bermanfaat
2. melatih anak melakukan tugas satu persatu
3. melatih anak menunggu giliran
4. mengalihkan sasaran agresivitas.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian terapi bermain bagi anak ADHD adalah:
1. Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi dan ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap, terstruktu,r dan konsistensi. Salah satu yang perlu diperhatikan pada anak ADHD adalah sensitivitas mereka terhadap perubahan sehingga kita harus membantu menciptakan sesuatu yang rutin untuk mereka. Dalam hal ini konsistensi yang dapat diciptakan terapis misalnya dalam hal waktu, aturan bermain, tempat, dan jumlah alat permainan. Pemilihan ini harus didasarkan pada kondisi anak dan target perilaku yang dituju.
2. Permainan yang digunakan harus dipecah-pecah menjadi komponen-komponen kecil yang diajarkan satu persatu dengan tahap dan cara yang sama. Mereka selalu sulit mengorganisasikan waktu sehingga kita harus membantu untuk memecah-mecah tugas menjadi komponen-komponen kecil yang sederhana. Misalnya: acara menggambar di bagi dalam kegiatan mengambil kertas, mengambil pensil, mengambil crayon, dst.
3. Terapi diberikan dalam beberapa tahap, pertama dengan satu anak satu terapis dalam tempat terapi khusus, kemudian perlahan-lahan anak akan dilibatkan dalam permainan bersama anak lain (sebaiknya yang tidak ADHD), dan jika sudah memungkinkan maka anak dilibatkan dalam kelompok yang lebih besar. Permainan sosial ini harus dirancang terapis dan orang tua untuk membantu anak mengembangkan ketrampilan bersosialisasi.
4. Terapi bagi anak penyandang ADHD tidak dapat dilakukan hanya dengan terapi tunggal. Mengingat bahwa gangguannya berkaitan dengan sirkuit di dalam otak, maka terapi bermain sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan terapi yang lain, yaitu terapi farmakologi. Rencana program terapi yang dijalankan pun harus disusun dengan terpadu dan terstruktur dengan baik, begitu juga proses evaluasinya.
5. Terapi bermain ini harus dilakukan oleh tenaga terapis yang sudah terlatih dan betul-betul mencintai dunia anak dan pekerjaannya. Hal ini terlebih pada penyandang ADHD karena menangani anak ADHD memerlukan kesabaran dan keteguhan hati yang tinggi. Jika pada anak non ADHD target perubahan perilaku yang dibuat mungkin dapat dicapai dengan cepat dan lebih mudah, maka bagi penyandang ADHD untuk mengendalikan perilaku mereka saja mungkin sulit.
6. Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus tidaknya kerja sama terapis dengan orang tua dan orang-orang lain yang terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan proses transfer ketrampilan yang sudah diperoleh selama terapi yang harus terus dipelihara dan ditingkatkan dalam kehidupan di luar program terapi.
7. Jika secara umum terapi bermain memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi dan eksplorasi, maka pada anak ADHD hal ini justru akan digunakan untuk memperkenalkan aturan-aturan dan mengendalikan perilaku
8. Terapi bermain bagi penyandang ADHD dapat ditujukan untuk meminimalkan/menghilangkan perilaku agresif, perilaku menyakiti diri sendiri, dan menghilangkan perilaku berlebihan yang tidak bermanfaat. Hal ini dapat dilakukan dengan melatihkan gerakan-gerakan tertentu kepada anak, misalnya tepuk tangan, merentangkan tangan, menyusun balok, bermain palu dan pasak, dan alat bermain yang lain. Dengan mengenalkan gerakan yang lain dan berbagai alat bermain yang dapat digunakan maka diharapkan dapat digunakan untuk mengalihkan agresivitas yang muncul, juga jika anak sering berlarian tak bertujuan. Mengenalkan anak pada permainan konstruktif seperti menyusun balok juga akan membantu anak mengenal urutan dan membantu mengembangkan ketrampilan motorik.

Demikianlah beberapa hal yang menurut saya penting diketahui tentang penerapan terapi bermain bagi anak ADHD. Sekali lagi, harus dicatat bahwa terapi bermain adalah salah satu alternatif saja diantara sekian banyak program terapi yang sudah dikembangkan bagi anak ADHD dan selalu dilakukan bersamaan dengan tritmrn yang lain. Masukan dan kritik bagi makalah ini sangat diharapkan demi proses belajar saya dan perbaikan ke depan. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

APA. 1994. DSM-IV, 4th Ed. Washington DC: The American Psychiatric Association

Barkley, R.A. 1998. Attention-deficit hyperactivity disorder. Scientific American, 279:3.

Barkley, R.A. 1997. Behavioral inhibition, sustained attention, & executive functions: constructing a unifying theory of ADHD. Psychological Bulletin, 121:1, 65-94

Budiman, M., 1997. Tata Laksana Terpadu pada Autisme. Simposium Tata Laksana Autisme oleh Yayasan Autisme Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan

Caldera, Y.M., et al., 1999. Children ‘s Play Preferences, Construction Play with Blocks, and Visual-Spatial Skills: Are They Related? International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 23. No. 4,855-872.

Coplan, R.J, et al., 2004. Do You “want “ to Play? Distinguishing Between Conflicted Shyness and Social Disinterest in Early Childhood. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 40. No. 2, 244-258.

Hartini, N., 2004. Pola Permainan Sosial: Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak, Anima, Vol. 19, No. 3, 271-285

Hoeksema, S.N., 2004. Abnormal Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Companies. Inc.

International Association for Play Therapy (APT), Play Therapy. Diakses dari www. A4pt.org

Landreth, G.L., 2001, Innovations in Play Therapy: Issues, Process, and Special Populations, Philadelphia, Brounner-Routledge

Lyytinen, P., Dikkens, A. M., dan Laakso, M.L. 1997. Language and Symbolic Play in Toddlers. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 21. No. 2, 289-302.

McConnell, R.S., 2002. Interventions to Facilitate Social Interaction for Young Children with Autism: Review of Available Research and Recommendations for Educational Intervention and Future Research. Journal of Autism and Developmental Disorders. Vol. 32. No. 5, October 2002, 351-372

National Institute of Mental Health (NIMH), 1999. Questions and Answers. NIMH Multimodal Treatment Study of Children with ADHD. Bethesda, MD: NIMH

Openheim, D. 1997. The Attachment Doll-Play Interview for Preschoolers. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 20. No. 4, 681-697.

Schaefer,C.E., Gitlin, K, & Sandgrund., 1991, Play Diagnosis & Assessment, Canada: John Wiley & Sons

Sugiarto, S, Prambahan, D.S., & Pratitis, N.T., 2004, Pengaruh Social Story terhadap Kemampuan Berinteraksi Sosial pada Anak Autis, Anima, Vol. 19, N0. 3, 250-270

Sukmaningrum, E., 2001, Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca Trauma pada Anak, Jurnal Psikologi, Vol. 8, No. 2, 14-23

U.S. Department of Education. 2003. Identifying and Treating Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Resourse for School and Home. From: www.ed.gov/offices/OSERS/OSEP.



DEFINISI, PENYEBAB, DAN KARAKTERISTIK PERILAKU ANAK ADHD
Gangguan yang berupa kurangnya perhatian dan kiperaktivitas atau yang lebih dikenal dengan Attention Deficits Hiperactivity Disorder (ADHD) dapat kita temui dalam banyak bentuk dan perilaku yang tampak. Sampai saat ini ADHD masih merupakan persoalan yang kontroversial dan banyak dipersoalkan di dunia pendidikan. Beberapa bentuk perilaku yang mungkin pernah kita lihat seperti: seorang anak yang tidak pernah bisa duduk di dalam kelas, dia selalu bergerak; atau anak yang melamun saja di kelas, tidak dapat memusatkan perhatian kepada proses belajar dan cenderung tidak bertahan lama untuk menyelesaikan tugas; atau seorang anak yang selalu bosan dengan tugas yang dihadapi dan selalu bergerak ke hal lain.
ADHD sendiri sebenarnya adalah kondisi neurologis yang menimbulkan masalah dalam pemusatan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas, dimana tidak sejalan dengan perkembangan usia anak. Jadi disini, ADHD lebih kepada kegagalan perkembangan dalam fungsi sirkuit otak yang bekerja dalam menghambat monitoring dan kontrol diri, bukan semata-mata gangguan perhatian seperti asumsi selama ini. Hilangnya regulasi diri ini mengganggu fungsi otak yang lain dalam memelihara perhatian, termasuk dalam kemampuan membedakan reward segera dengan keuntungan yang akan diperoleh di waktu yang akan datang (Barkley, 1998).
Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat dikelompokkan dalam 2 kategori utama, yaitu: kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas.
Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. Ketidakmampuan memperhatikan detil atau melakukan kecerobohan dalam mengerjakan tugas, bekerja, atau aktivitas lain.
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. Kadang terlihat tidak perhatian ketika berbicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas
e. Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas
f. Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas yang memerlukan proses mental yang lama, misalnya: tugas sekolah
g. Sering kehilangan barang miliknya, misal: mainan, pensil, buku, dll
h. Mudah terganggu stimulus dari luar
i. Sering lupa dengan aktivitas sehari-hari

Sedangkan hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam perilaku:
a. gelisah atau sering menggeliat di tempat duduk
b. sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau situasi lain dimana seharusnya duduk tenang
c. berlari berlebihan atau memanjat-manjat yang tidak tepat situasi (pada remaja atau dewasa terbatas pada perasaan tidak dapat tenang/gelisah)
d. kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
e. seolah selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
f. berbicara terlalu banyak
g. sering menjawab pertanyaan sebelum selesai diberikan. (Impulsivitas)
h. kesulitan menunggu giliran (Impulsivitas)
i. menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain (Impulsivitas)

Terkadang gejala tersebut juga diikuti oleh agresivitas dalam bentuk:
a. sering mendesak, mengancam, atau mengintimidasi orang lain
b. sering memulai perkelahian
c. menggunakan senjata tajam yang dapat melukai orang lain
d. berlaku kasar secara fisik terhadap orang lain
e. menyiksa binatang
f. menyanggah jika dikonfrontasi dengan korbannya
g. memaksa orang lain melakukan aktivitas seksual

Menurut DSM-IV definisi ADHD sendiri adalah sebagai berikut:
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan

B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau pekerjaan)
D. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
E. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).

Gejala-gejala yang muncul sebagai bentuk kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas terkadang berpengaruh terhadap pengalaman belajar anak karena anak yang menunjukkan gejala-gejala tersebut biasanya akan terlihat selalu gelisah, sulit duduk dan bermain dengan tenang, kesulitan terlibat dalam kegiatan yang mengharuskan antri, menjawab pertanyaan sebelum selesai ditanyakan, kesulitan mengikuti instruksi detail, kesulitan memelihara perhatian dalam waktu panjang ketika mengerjakan tugas, dan sering salah meletakkan barang.
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa gejala-gejala pada anak ADHD muncul karena mereka tidak dapat menghambat respon-respon impulsif motorik terhadap input-input yang diterima, bukan ketidakmampuan otak dalam menyaring input sensoris seperti cahaya dan suara (Barkley, 1998).
Walaupun banyak penelitian sudah dilakukan namun sampai saat ini para ahli belum yakin apa penyebab ADHD, namun mereka curiga bahwa sebabnya berkait dengan aspek genetik atau biologis, walaupun mereka juga percaya bahwa lingkungan tumbuh anak juga menentukan perilaku spesifik yang terbentuk. Beberapa faktor yang banyak diduga memicu munculnya gejala ADHD adalah: kelahiran prematur, penggunaan alkohol dan tembakau pada ibu hamil, dan kerusakan otak selama kehamilan. Beberapa faktor lain seperti zat aditif pada makanan, gula, ragi, atau metode pengasuhan anak yang kering juga diduga mendukung munculnya gejala ADHD walaupun belum didukung fakta yang meyakinkan.
TRITMEN BAGI ANAK ADHD
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan ADHD, namun telah tersedia beberapa pilihan tritmen yang telah terbukti efektif untuk menangani anak-anak dengan gejala ADHD. Strategi penanganan tersebut melibatkan aspek farmasi, perilaku, dan metode multimodal.
Metode perubahan perilaku bertujuan untuk memodifikasi lingkungan fisik dan sosial anak untuk mendukung perubahan perilaku (AAP, 2001). Pihak yang dilibatkan biasanya adalah orang tua, guru, psikolog, terapis kesehatan mental, dan dokter. Tipe pendekatan perilakuan meliputi training perilaku untuk guru dan orang tua, program yang sistematik untuk anak (penguatan positif dan token economy), terapi perilaku klinis (training pemecahan masalah dan ketrampilan sosial), dan tritmen kognitif-perilakuan/CBT (monitoring diri, self-reinforcement, instruksi verbal untuk diri sendiri, dan lain-lain) (AAP, 2001).
Metode farmasi meliputi penggunaan psikostimulan, antidepresan, obat untuk cemas, antipsikotik, dan stabilisator suasana hati (NIMH, 2000). Harus diperhatikan bahwa penggunaan obat-obatan ini harus dibawah pengawasan ketat dokter dan ahli farmasi yang terus-menerus melakukan evaluasi terhadap efektivitas penggunaan dan dampaknya terhadap subjek tertentu.
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk menangani anak ADHD adalah dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan dan metode penanganan. Penelitian yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak ADHD menunjukkan bahwa kombinasi terapi obat dan perilaku lebih efektif dibandingkan jika digunakan sendiri-sendiri. Tritmen multimodal khususnya efektif untuk meningkatkan ketrampilan sosial pada anak-anak ADHD yang diikuti gejala kecemasan atau depresi. Ternyata dosis obat yang digunakan lebih rendah jika diikuti dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku.

TERAPI “BACK IN CONTROL (BIC)”
Program terapi “Back in Control” dikembangkan oleh Gregory Bodenhamer. Program terapi ini unik karena dikatakan lebih baik daripada intervensi reward/punishment bagi anak-anak dengan ADHD. Program ini berbasis kepada sistem yang berdasar pada aturan, jadi tidak tergantung pada keinginan anak untuk patuh. Jadi, program ini lebih kepada sistem training bagi orang tua yang kemudian diharapkan dapat menciptakan sistem tata aturan yang berlaku dirumah sehingga dapat merubah perilaku anak. Demi efektivitas program, maka nantinya orang tua akan bekerja sama dengan pihak sekolah untuk melakukan proses yang sama bagi anaknya, ketika dia di sekolah. Orang tua harus selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan dan konsisten atas program yang dijalankan. Begitu juga ketika program ini dilaksanakan bersama-sama dengan pihak sekolah maka orang tua sangat memerlukan keterlibatan guru dan petugas di sekolah untuk melakukan proses monitoring dan evaluasi.
Dalam program ini, tugas orang tua adalah:
1. Orang tua mendefinisikan aturan secara jelas dan tepat (kita perjelas apa yang kita mau, tidak kurang tidak lebih). Kita buat aturan sejelas mungkin sehingga pengasuh pun dapat mendukung pelaksanaannya tanpa banyak penyimpangan.
2. Jalankan aturan tersebut dengan ketat.
3. Jangan memberi imbalan atau hukuman pada sebuah aturan. Jalankan saja.
4. Jangan pernah berdebat dengan anak tentang sebuah aturan. Gunakan kata-kata kunci yang tidak akan diperdebatkan, misalnya “kamu harus….meskipun…..”

Beberapa masalah yang muncul dalam pelaksanaan program ini antara lain :
1. Kebanyakan orang tua kurang bersedia memberikan reward, sedikit yang benar-benar tidak memberikan hukuman.
2. Kebanyakan orang tua kesulitan menahan untuk berteriak ketika marah kepada anak mereka. Sebenarnya, hal ini justru membuat anak merasa menang dan mengalihkan anak dari aturan yang sebenarnya.

Demikian paparan ringkas tentang terapi BIC untuk penyandang ADHD dan untuk lebih jelasnya, saya mencoba menyusun satu program untuk satu kasus ADHD sebagai ilustrasi bagaimana terapi BIC diterapkan.

ILUSTRASI : KASUS BONA
Bona adalah anak laki-laki berusia 5 tahun dan bersekolah di sebuah TK ternama di Yogya. Penampilan fisiknya gemuk dan tinggi, jauh lebih besar dibandingkan teman-teman seusianya. Ayah ibunya bekerja sebagai karyawan swasta yang bekerja sepanjang hari sehingga Bona lebih banyak diasuh pembantunya. Bona dibawa ke sebuah biro konsultasi psikologi oleh ibunya karena adanya keluhan yang disampaikan pembantu, para tetangga, dan terutama guru-guru di sekolahnya. Pembantu rumah tangga di keluarga tersebut sering sekali berganti karena kebanyakan dari mereka tidak tahan dengan perilaku Bona yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi.
Orang tua Bona sering merasa tidak nyaman dan serba salah dengan tetangga karena hampir setiap hari ada saja tetangga yang mengadu tentang perilaku Bona kepada anak-anak mereka. Perilaku Bona yang merebut mainan temannya hingga rusak, Bona yang memukul temannya hingga benjol, Bona yang melempar-lempar batu mengenai kaca tetangga, sampai Bona yang memanjat pagar tetangga dan merusakkan tanaman hias mereka, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sementara itu guru di sekolah juga sering sekali menyampaikan keluhan tentang perilaku Bona di sekolah, bahkan Bona beberapa kali diantarkan pulang guru sebelum waktunya. Di sekolah, Bona terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena setiap kali Bona diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas. Ketika teman-temannya belajar mewarnai atau menggambar maka Bona akan meninggalkan kertas gambarnya dalam keadaan kosong atau dengan sedikit coretan yang terlihat asal-asalan. Bona juga sulit sekali diminta melakukan sesuatu oleh gurunya karena setiap kali gurunya berbicara, Bona tidak tahan mendengarkannya sampai selesai. Juga ketika guru mengajukan pertanyaan, terkadang Bona berteriak menjawab meski pertanyaan belum selesai, dan akhirnya jawabannya pun tidak tepat. Beberapa waktu terakhir bahkan gurunya secara implisit menyatakan bahwa Bona sebaiknya di pindah ke sekolah lain yang dapat menanganinya dengan lebih baik karena guru-guru di sekolahnya yang sekarang sudah kewalahan. Orang tuanya bingung sekali dengan kondisi ini sehingga merasa perlu minta bantuan tenaga terapis anak untuk membantu. Mengingat bahwa Bona adalah anak tunggal dan efek dari perilakunya sudah dipandang meresahkan maka ibunya berniat cuti selama beberapa bulan dari pekerjaannya untuk mengatasi masalah anaknya ini.

PROSES TATA LAKSANA PERILAKU BAGI BONA
A. TARGET PERILAKU
Mengingat usia Bona yang 5 tahun dimana kebutuhan sosialisasinya dengan teman sebaya sudah cukup tinggi dan hampir memasuki usia sekolah, sementara Bona masih memiliki masalah dalam memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas, maka beberapa perilaku yang menjadi target dalam perubahan perilaku ini adalah:
1. Mampu membereskan mainan dan barang-barang milik Bona sendiri.
2. Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai.
3. Mengerjakan aktivitas sampai selesai.
Karena program ini berbasis pada sistem aturan maka perilaku yang menjadi target dapat beberapa (tidak hanya satu) dengan catatan setiap target perilaku akan dibuatkan aturan yang detil dan jelas tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan (dalam program yang direncanakan).

B. RENCANA WAKTU
Waktu yang direncanakan adalah 6 bulan, mengingat bahwa selama waktu itu ibunya akan cuti dari kantor dan dapat secara penuh terlibat dalam program ini untuk terus berada di samping Bona. Waktu 6 bulan ini akan dibagi dalam beberapa tahap untuk memudahkan proses monitoring dan evaluasi.
Tahap pertama adalah training yang dilaksanakan oleh terapis bagi orang tua Bona untuk melatih mereka agar dapat menciptakan aturan dan mengelola program di rumah. Training ini dilakukan selama 1 minggu dilanjutkan dengan membuat program.
Minggu kedua orang tua Bona mulai membuat aturan-aturan yang harus dipatuhi Bona di rumah dengan kontrol dari seluruh warga rumah termasuk pembantu. Jadi seluruh aturan ini secara detil dan jelas disosialisasikan kepada semua orang di rumah. Untuk memudahkan sosialisasi, orang tua Bona menempelkan aturan-aturan tersebut di beberapa tempat di dinding rumah.
Sejalan dengan sosialisasi maka aturan mulai dijalankan dengan monitoring setiap saat oleh ibunya Bona dibantu siapa saja yang di rumah. Evaluasi dilakukan oleh orang tua bersama pembantu setiap hari dan oleh orang tua bersama terapis setiap akhir minggu.

C. PELAKSANA PROGRAM
Program ini dilaksanakan oleh Ibu Bona sebagai manajer program dibantu oleh seluruh anggota keluarga dengan didampingi terapis anak sebagai pemandu program dan nara sumber proses.

D. PROGRAM YANG DIRENCANAKAN
Berdasarkan target perilaku tersebut di bagian A maka dibuatlah aturan-aturan yang detil tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan dari Bona, yaitu:
1. Membereskan mainan dan barang milik Bona sendiri.
Aturan:
a. Memasukkan pensil, penghapus, dan buku ke tas setelah digunakan. (Tidak meninggalkan pensil, penghapus, dan buku di meja belajar, meja tamu, atau di ruang lain)
b. Mengembalikan mainan ke wadahnya setelah digunakan. (Tidak melempar-lempar mainan jika tidak digunakan. Jika melempar-lempar maka harus mengambil kembali dan dikembalikan ke wadahnya.)
2. Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai.
Aturan:
a. Menunggu Bapak, Ibu, pembantu, atau teman selesai ketika sedang berbicara tanpa memotong.
b. Tidak pergi ketika Bapak, Ibu, teman, atau pembantu sedang berbicara kepada Bona.
c. Menjawab pertanyaan Bapak, Ibu, teman, atau pembantu jika sudah selesai diucapkan. (Tidak menjawab pertanyaan sebelum selesai.)
d. Menatap wajah Bapak, Ibu, teman, atau pembantu yang sedang berbicara kepada Bona. (Tidak memalingkan muka ketika diajak berbicara.)
3. Mengerjakan aktivitas sampai selesai.
Aturan:
a. Memasang-masang mainan lego sampai berbentuk sesuatu baru dilepas kembali. (Tidak berganti mainan sebelum selesai dimainkan.)
b. Menggambar sampai selesai. (Tidak berganti kertas gambar atau meninggalkannya sebelum gambar selesai dibuat.)
c. Mewarnai bentuk sampai selesai baru berganti kertas.
d. Makan sambil duduk sampai selesai. (Tidak makan sambil berlari-lari keluar rumah.)
Keseluruhan aturan ini disampaikan kepada Bona dengan jelas dan harus yakin bahwa Bona mengerti dengan jelas yang dimaksud dengan aturan ini. Aturan ini kemudian ditulis besar-besar dan ditempel di beberapa bagian rumah, seperti di kamar Bona, ruang bermain, dan dapur untuk selalu mengingatkan orang tua dan pembantu agar terus mendorong pelaksanaan aturan tersebut secara konsisten.

E. EVALUASI PROGRAM
Program bagi Bona ini akan selalu dievaluasi dan dimonitor menggunakan lembar evaluasi dan lembar monitoring yang dibuat saat perencanaan program (contoh lembar evaluasi dan lembar monitoring terlampir). Evaluasi dan monitoring dilakukan ibu Bona sebagai manajer program dan secara berkala akan didiskusikan bersama terapis untuk melihat efektivitas dan kemajuan program.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (4th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association.

Barkley, R. A. (September, 1998). Attention-deficit hyperactivity disorder. Scientific
American, 279: 3.

Barkley, R. A. (1998). Handbook of Attention Deficit Hyperactivity Disorder (2nd ed.).
New York: Guilford Press.

Cantwell, D. P., & Baker, L. (1991). Association between attention deficit-hyperactivity
disorder and learning disorders. Journal of Learning Disabilities, 24, 88-95.

Carlson, C. L., Pelham, W. E., Jr., Milich, R., & Dixon, J. (1992). Single and combined
effects of methylphenidate and behavior therapy on the classroom performance of children with attention-deficit hyperactivity disorder. Journal of Abnormal Child Psychology, 20, 213-232.

DSM-III-R symptoms for the disruptive behavior disorders. Journal of the American
Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 31, 210-218.

Hinshaw, S. P., Owens, E. B., Wells, K. C., Kraemer, H. C., Abikoff, H. B., Arnold, L. E., et
al. (2000). Family processes and treatment outcome in the MTA: Negative/ineffective
parenting practices in relation to multimodal treatment. Journal of Abnormal Child
Psychology, 28(6), 555-568.

Jensen, P. S., Martin, D., & Cantwell, D. (1997). Comorbidity in ADHD: Implications for
research, practice, and DSM-IV. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry, 36(8), 1065-1079.

Jensen, P. S., Hinshaw, S. P., Kraemer, H. C., Lenora, N., Newcorn, J. H., Abikoff, H. B., et
al. (2001). ADHD Comorbidity findings from the MTA Study: Comparing Comorbid
Subgroups. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry, 40(2), 147-158.

MTA Cooperative Group. (1999a). Fourteen-month randomized clinical trial of treatment
strategies for attention-deficit hyperactivity disorder. Archives of General Psychiatry, 56,1073-1086.

National Institute of Mental Health (NIMH). (1999). Questions and answers. NIMH
Multimodal Treatment Study of Children With ADHD. Bethesda, MD: NIMH.

National Institute of Mental Health. (2000). NIMH Research on Treatment for Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD): The Multimodal Treatment Study—Questions and Answers. [Online]. Available: www.nimh.nih.gov/events/mtaqa.cfm.



www.http://klinis.wordpress.com