Tuesday, December 30, 2008

PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI PENYANDANG ADHD

Posted by: melianaaryuni on: Agustus 12, 2008

PENDAHULUAN

Membicarakan anak tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang bermain. Bermain adalah dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang mereka inginkan. Tak diragukan bahwa anak-anak bermain sepanjang waktu yang mereka miliki.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, mulai akhir tahun 1800-an bermain dipandang sebagai aktivitas yang penting untuk anak. Sebelumnya, bermain hanya dipandang sebagai ekspresi dari kelebihan energi yang dimiliki anak-anak atau sebagai bagian dari ritual budaya dan agama. Seiring perkembangan waktu, pandangan para ahli tentang bermain berubah dan bermain dipandang sebagai perilaku yang bermakna. Misalnya, menurut Groos (Schaefer, et al., 1991) bermain dipandang sebagai ekspresi insting untuk berlatih peran di masa mendatang yang penting untuk bertahan hidup. Sedang Hall (dalam Schaefer, et al., 1991) melihat bermain sebagai rekapitulasi perkembangan suatu ras dan merupakan media yang penting untuk menyatakan kehidupan dalam diri (inner life) anak. Bahkan menurut Hall tidak ada alat yang dapat mengungkap jiwa anak sebaik permainan boneka.

DEFINISI TERAPI BERMAIN

Sebelum kita sampai pada penjelasan tentang terapi bermain, maka kita perlu memahami dulu tentang definisi bermain. Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi, ketrampilan sosial, ketrampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak (Landreth, 2001). Bermain juga dikatakan sebagai media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal, eksperimen dalam peran orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri. Bermain adalah bentuk ekspresi diri yang paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia. Bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat kompleks dan multi-dimensional, yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan dan perkembangan anak, yang lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan dengan kata-kata. Kesulitan dalam mendefinisikan permainan yang dapat diterima banyak pihak adalah karena tidak adanya satu set permainan yang dapat mencakup banyak tipe permainan.
Erikson (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan bermain sebagai suatu situasi dimana ego dapat bertransaksi dengan pengalaman dengan menciptakan situasi model dan juga dapat menguasai realitas melalui percobaan dan perencanaan. Moustakas (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan permainan sebagai ‘pembiaran pergi’, kebebasan untuk mengalami, membenamkan seseorang secara total dalam momen tersebut sehingga tidak ada lagi beda antara diri dan objek dan diri sendiri dan orang lain. Energi, hidup, spirit, kejutan, peleburan, kesadaran, pembaharuan, semuanya adalah kualitas dalam permainan.
Menurut McCune, Nicolich, & Fenson (dalam Schaefer, et al., 1991) bermain dibedakan dari perilaku yang lain dalam hal: (a) ditujukan demi kesenangan sendiri; (b) fokus lebih pada makna daripada hasil akhir; (c) diarahkan pada eksplorasi subjek untuk melakukan sesuatu pada objek; (d) tanpa mengharapkan hasil serius; (e) tidak diatur oleh aturan eksternal; (f) adanya keterikatan aktif dari pemainnya. Sedangkan Garvey dan Piaget menambahkan bahwa permainan haruslah: (a) menyenangkan; (b) spontan, sukarela, motivasinya instrinsik; (c) fleksibel; dan (d) berkait dengan pertumbuhan fisik dan kognitif.
Sementara Landreth (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.
International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang berpusat di Amerika, dalam situsnya di internet mendefinisikan terapi bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal dimana terapis bermain menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (www.a4pt.org).
Beberapa definisi terapi bermain tersebut mengarah pada beberapa hal penting, yaitu: (a) tipe dan jumlah permainan yang digunakan; (b) konteks permainan; (c) partisipan yang terlibat; (d) urutan permainan; (e) ruang yang digunakan; (f) gaya bermain; (g) tingkat usaha yang dicurahkan dalam permainan.
Berdasarkan banyak definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa permainan adalah aktivitas yang mengandung motivasi instrinsik, memberi kesenangan dan kepuasan bagi siapa yang terlibat, dan dipilih secara sukarela. Sementara terapi bermain adalah pemanfaatan permainan sebagai media yang efektif oleh terapis, untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri.

PERKEMBANGAN PERILAKU BERMAIN DALAM PENJANGKAAN KONDISI PSIKOLOGIS ANAK-ANAK

Perilaku bermain kemudian menjadi bagian yang penting dari teori-teori psikologi perkembangan. Tulisan Freud tentang perkembangan psikoseksual membuat komunitas ilmiah menaruh perhatian lebih kepada perkembangan awal masa kanak-kanak dan perilaku anak sebagai jalan untuk memahami perkembangan kepribadian masa dewasa. Freud berpendapat bahwa perilaku anak yang terlihat adalah refleksi dari masalah-masalah dan konflik-konflik yang tidak disadari. Kemudian Freud memperluas pandangannya bahwa perilaku bermain merupakan suatu penguasaan yang spesifik dari anak. Namun sejauh ini Freud baru melihat perilaku bermain dalam tataran konsep namun dalam pelaksanaan terapi belum digunakan. Baru oleh Melanie Klein dan Anna Freud (Schaefer, et al., 1991), bermain dimasukkan dalam proses terapiutik. Menggunakan dasar konsep psikoanalisa, mereka memasukkan dan mempopulerkan penggunaan alat-alat permainan dalam penanganan/tritmen yang efektif bagi anak-anak.
Tokoh lain yang mengembangkan permainan sebagai instrument dalam assessmen psikologis adalah Margaret Lowenfeld, yang memperkenalkan apa yang dia sebut “Teknik Miniatur Dunia”. Teknik ini merupakan sistem pertama dalam penggunaan mainan dan objek dalam bentuk mini (miniatur) secara terorganisasi, yang digunakan dalam terapi bermain. Tekniknya ini memperluas fokus perhatian para terapis dari sekedar menginterpretasi menjadi lebih banyak melakukan observasi secara formal dan metodis penggunaan permainan anak dalam situasi terapi. Namun sejauh itu Lowenfeld belum menganjurkan penggunaan teknik tersebut sebagai alat diagnostik.
Selanjutnya Erikson juga mulai mempublikasikan karyanya tentang anak dan remaja. Mendasarkan pada teori perkembangan psikososialnya, Erikson memandang bermain sebagai sebuah ekspresi kombinasi beberapa kekuatan, yaitu: perkembangan individual, dinamika keluarga, dan harapan masyarakat. Maka untuk melakukan observasi terhadap perilaku bermain, seorang observer harus paham betul bagaimana seorang anak dengan usia tertentu dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara tersebut maka observer dapat mengetahui dan memutuskan apakah perilaku subjek dalam bermain dapat dikatakan memiliki makna umum (normal) atau tidak normal. Seperti juga Freud, Erikson memandang permainan sebagai jalan mengetahui ketidaksadaran subjek.
Piaget dengan teorinya tentang perkembangan kognitif juga memberi perhatian pada perilaku bermain. Menurutnya, perubahan perilaku bermain menunjukkan perkembangan intelektual, sama seperti peningkatan kompetensi individu. Bermain juga menjadi media bagi individu untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya.
Tokoh lain yang mengembangkan penggunaan permainan dalam assessmen adalah Virginia Axline. Axline menyatukannya dengan pendekatan nondirective client-centered milik Rogers yang sebelumnya hanya untuk orang dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anak-anak menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas. Perasaan mereka, sikap, dan pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar memahami diri mereka dan orang lain dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa ketika bermain mereka dapat melakukan apapun, menciptakan dunia sendiri, menciptakan atau menghancurkan sesuatu.
Selama tahun-tahun 1930-an sampai 1960-an, bermain oleh para klinisi lebih dipandang sebagai tritmen daripada instrumen penjangka/assessmen. Namun kemudian beberapa ahli mengembangkan permainan sebagai alat diagnostik. Salah satu yang terkenal adalah “Teknik miniatur dunia” hasil karya Lowenfeld, yang dikatakan dapat menentukan taraf perkembangan fungsi anak, meliputi perkembangan : kemampuan bicara, motorik, intelektual, sosial, intrapsikis, dan perkembangan afektif. Setelah mengalami perkembangan yang bagus di tahun-tahun 1950-an, selanjutnya terapi bermain agak surut dan popularitasnya mulai menurun. Sekitar tahun 1960-an para profesional mulai beralih kepada tritmen yang perilakuan, dibatasi waktu, kognitif, dan berorientasi kepada keluarga dan model medis. Terapi bermain hanya menjadi salah satu diantara sekian banyak cara untuk melihat dan memperlakukan anak yang mengalami masalah emosional.
Pada tahun-tahun 1970 - 1980-an permainan anak kembali muncul sebagai teknik utama dalam memahami dan memberi tritmen pada anak. Kemudian para ahli banyak mengembangkan lebih banyak standar objektif untuk mengamati anak dan membanding-bandingkan perilaku bermain. Dengan standar tersebut maka para klinisi dapat memperoleh data tentang perilaku anak melalui permainan, dimana datanya lebih reliabel dan objektif.
Saat ini, perilaku bermain anak dipercaya merupakan refleksi dari bermacam aspek inner life anak, taraf perkembangan fungsi dan kemampuannya. Diantara karakteristik-karakteristik tersebut, yang dapat diamati melalui perilaku bermain anak adalah: perkembangan ego, corak kognitif, kemampuan adaptasi, fungsi bahasa, responsitas emosi dan perilaku, tingkat sosial, perkembangan moral, kemampuan intelektual, gaya coping, teknik pemecahan masalah, dan bagaimana anak memandang dan memaknai dunia disekitarnya.



PENYEBAB ADHD

Sampai saat ini belum jelas faktor apa yang dapat menyebabkan munculnya ADHD, meskipun banyak penelitian yang dilakukan dalam bidang neurologi dan ilmu genetika sepertinya menunjukkan sedikit titik terang. Banyak peneliti mencurigai faktor genetik dan biologis sebagai penyebab ADHD, meskipun lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang juga membantu menentukan perilaku anak yang spesifik.
Studi terhadap gambar otak menunjukkan bagian mana dari otak anak-anak ADHD yang tidak berfungsi dan penyebab tidak berfungsinya bagian itu belum diketahui, namun diduga berkaitan dengan mutasi beberapa gen. Selain faktor genetik tersebut, terdapat beberapa faktor yang sering dikatakan memiliki kontribusi dalam munculnya ADHD, diantaranya: kelahiran prematur, konsumsi alkohol dan tembakau (rokok) saat ibu hamil, terpapar timah dalam kadar tinggi, dan kerusakan otak sebelum lahir. Beberapa pihak lagi mengklaim bahwa zat aditif pada makanan, gula, ragi, dan pola asuh yang kering dapat memunculkan ADHD, namun pendapat ini kurang didukung fakta dan data yang akurat (Barkley, 1998; NIMH, 1999).

BAGAIMANA MENDETEKSI ANAK MENGALAMI ADHD?

Terkadang kita melihat ada anak-anak yang terlihat sangat aktif dan tidak memperhatikan jika belajar di kelas. Namun, hal tersebut dapat saja merupakan sesuatu yang normal jika kita tilik dari usia mereka. Kita dapat mengarahkan pada diagnosa ADHD jika perilaku yang muncul tersebut sangat tidak sesuai dengan usia perkembangan mereka.
Terdapat beberapa kriteria dalam DSM-IV yang membantu kita melakukan deteksi terhadap anak-anak dengan gangguan ADHD. Seorang anak harus menampakkan beberapa karakteristik untuk dapat didignosa secara klinis mengalami ADHD.
Keparahan  perilaku tersebut harus lebih sering muncul pada anak tersebut jika dibandingkan dengan anak-anak lain dalam tahap perkembangan yang sama
Waktu muncul  paling tidak beberapa gejala uncul sebelum usia 7 tahun
Durasi  perilaku harus sudah muncul paling tidak 6 bulan sebelum evaluasi
Dampak  gejala harus menimbulkan dampak negatif pada kehidupan akademik dan sosial anak.
Seting  gejala harus muncul pada beberapa seting dalam kehidupan anak.

Kriteria yang diberikan oleh DSM-IV untuk membantu kita menegakkan diagnosa ADHD dapat kita lihat berikut ini.
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau pekerjaan)
D. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
E. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).

TERAPI UNTUK PENYANDANG ADHD

Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan ADHD, namun telah tersedia beberapa pilihan tritmen yang telah terbukti efektif untuk menangani anak-anak dengan gejala ADHD. Strategi penanganan tersebut melibatkan aspek farmasi, perilaku, dan metode multimodal.
Metode perubahan perilaku bertujuan untuk memodifikasi lingkungan fisik dan sosial anak untuk mendukung perubahan perilaku (AAP, 2001). Pihak yang dilibatkan biasanya adalah orang tua, guru, psikolog, terapis kesehatan mental, dan dokter. Tipe pendekatan perilakuan meliputi training perilaku untuk guru dan orang tua, program yang sistematik untuk anak (penguatan positif dan token economy), terapi perilaku klinis (training pemecahan masalah dan ketrampilan sosial), dan tritmen kognitif-perilakuan/CBT (monitoring diri, self-reinforcement, instruksi verbal untuk diri sendiri, dll) (AAP, 2001).
Metode farmasi meliputi penggunaan psikostimulan, antidepresan, obat untuk cemas, antipsikotik, dan stabilisator suasana hati (NIMH, 2000). Harus diperhatikan bahwa penggunaan obat-obatan ini harus dibawah pengawasan ketat dokter dan ahli farmasi yang terus-menerus melakukan evaluasi terhadap efektivitas penggunaan dan dampaknya terhadap subjek tertentu.
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk menangani anak dengan ADHD adalah dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan dan metode penanganan. Penelitian yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak ADHD menunjukkan bahwa kombinasi terapi obat dan perilaku lebih efektif dibandingkan jika digunakan sendiri-sendiri. Tritmen multimodal khususnya efektif untuk meningkatkan ketrampilan sosial pada anak-anak ADHD yang diikuti gejala kecemasan atau depresi. Ternyata dosis obat yang digunakan lebih rendah jika diikuti dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku.
Salah satu terapi perilaku yang dapat diberikan bagi anak-anak ADHD adalah dalam bentuk permainan, yang kemudian sering disebut terapi bermain.

PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI ANAK ADHD
Berdasarkan luasnya batasan terapi bermain maka penerapannya bagi penyandang ADHD memerlukan batasan-batasan yang lebih spesifik, disesuaikan dengan karakteristik penyandang ADHD sendiri. Pada anak penyandang ADHD, terapi bermain dapat dilakukan untuk membantu mengendalikan aktivitas yang berlebihan (hiperaktivitas), melatih kemampuan mempertahankan perhatian pada objek tertentu, mengembangkan ketrampilan menunggu giliran, dan mengendalikan tingkat agresivitas. Tentu saja pemberian terapi perilaku ini akan kurang efektif tanpa dibarengi dengan tritmen yang berupa obat-obatan yang membantu untuk mengendalikan agresivitas, memberikan ketenangan kepada anak, dan mengurangi kecemasan.
Pada prinsipnya terapi bermain digunakan untuk menjadi media bagi anak untuk:
1. mengalihkan perhatiannya dari aktivitas yang berlebihan namun tidak bermanfaat
2. melatih anak melakukan tugas satu persatu
3. melatih anak menunggu giliran
4. mengalihkan sasaran agresivitas.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian terapi bermain bagi anak ADHD adalah:
1. Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi dan ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap, terstruktu,r dan konsistensi. Salah satu yang perlu diperhatikan pada anak ADHD adalah sensitivitas mereka terhadap perubahan sehingga kita harus membantu menciptakan sesuatu yang rutin untuk mereka. Dalam hal ini konsistensi yang dapat diciptakan terapis misalnya dalam hal waktu, aturan bermain, tempat, dan jumlah alat permainan. Pemilihan ini harus didasarkan pada kondisi anak dan target perilaku yang dituju.
2. Permainan yang digunakan harus dipecah-pecah menjadi komponen-komponen kecil yang diajarkan satu persatu dengan tahap dan cara yang sama. Mereka selalu sulit mengorganisasikan waktu sehingga kita harus membantu untuk memecah-mecah tugas menjadi komponen-komponen kecil yang sederhana. Misalnya: acara menggambar di bagi dalam kegiatan mengambil kertas, mengambil pensil, mengambil crayon, dst.
3. Terapi diberikan dalam beberapa tahap, pertama dengan satu anak satu terapis dalam tempat terapi khusus, kemudian perlahan-lahan anak akan dilibatkan dalam permainan bersama anak lain (sebaiknya yang tidak ADHD), dan jika sudah memungkinkan maka anak dilibatkan dalam kelompok yang lebih besar. Permainan sosial ini harus dirancang terapis dan orang tua untuk membantu anak mengembangkan ketrampilan bersosialisasi.
4. Terapi bagi anak penyandang ADHD tidak dapat dilakukan hanya dengan terapi tunggal. Mengingat bahwa gangguannya berkaitan dengan sirkuit di dalam otak, maka terapi bermain sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan terapi yang lain, yaitu terapi farmakologi. Rencana program terapi yang dijalankan pun harus disusun dengan terpadu dan terstruktur dengan baik, begitu juga proses evaluasinya.
5. Terapi bermain ini harus dilakukan oleh tenaga terapis yang sudah terlatih dan betul-betul mencintai dunia anak dan pekerjaannya. Hal ini terlebih pada penyandang ADHD karena menangani anak ADHD memerlukan kesabaran dan keteguhan hati yang tinggi. Jika pada anak non ADHD target perubahan perilaku yang dibuat mungkin dapat dicapai dengan cepat dan lebih mudah, maka bagi penyandang ADHD untuk mengendalikan perilaku mereka saja mungkin sulit.
6. Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus tidaknya kerja sama terapis dengan orang tua dan orang-orang lain yang terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan proses transfer ketrampilan yang sudah diperoleh selama terapi yang harus terus dipelihara dan ditingkatkan dalam kehidupan di luar program terapi.
7. Jika secara umum terapi bermain memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi dan eksplorasi, maka pada anak ADHD hal ini justru akan digunakan untuk memperkenalkan aturan-aturan dan mengendalikan perilaku
8. Terapi bermain bagi penyandang ADHD dapat ditujukan untuk meminimalkan/menghilangkan perilaku agresif, perilaku menyakiti diri sendiri, dan menghilangkan perilaku berlebihan yang tidak bermanfaat. Hal ini dapat dilakukan dengan melatihkan gerakan-gerakan tertentu kepada anak, misalnya tepuk tangan, merentangkan tangan, menyusun balok, bermain palu dan pasak, dan alat bermain yang lain. Dengan mengenalkan gerakan yang lain dan berbagai alat bermain yang dapat digunakan maka diharapkan dapat digunakan untuk mengalihkan agresivitas yang muncul, juga jika anak sering berlarian tak bertujuan. Mengenalkan anak pada permainan konstruktif seperti menyusun balok juga akan membantu anak mengenal urutan dan membantu mengembangkan ketrampilan motorik.

Demikianlah beberapa hal yang menurut saya penting diketahui tentang penerapan terapi bermain bagi anak ADHD. Sekali lagi, harus dicatat bahwa terapi bermain adalah salah satu alternatif saja diantara sekian banyak program terapi yang sudah dikembangkan bagi anak ADHD dan selalu dilakukan bersamaan dengan tritmrn yang lain. Masukan dan kritik bagi makalah ini sangat diharapkan demi proses belajar saya dan perbaikan ke depan. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

APA. 1994. DSM-IV, 4th Ed. Washington DC: The American Psychiatric Association

Barkley, R.A. 1998. Attention-deficit hyperactivity disorder. Scientific American, 279:3.

Barkley, R.A. 1997. Behavioral inhibition, sustained attention, & executive functions: constructing a unifying theory of ADHD. Psychological Bulletin, 121:1, 65-94

Budiman, M., 1997. Tata Laksana Terpadu pada Autisme. Simposium Tata Laksana Autisme oleh Yayasan Autisme Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan

Caldera, Y.M., et al., 1999. Children ‘s Play Preferences, Construction Play with Blocks, and Visual-Spatial Skills: Are They Related? International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 23. No. 4,855-872.

Coplan, R.J, et al., 2004. Do You “want “ to Play? Distinguishing Between Conflicted Shyness and Social Disinterest in Early Childhood. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 40. No. 2, 244-258.

Hartini, N., 2004. Pola Permainan Sosial: Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak, Anima, Vol. 19, No. 3, 271-285

Hoeksema, S.N., 2004. Abnormal Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Companies. Inc.

International Association for Play Therapy (APT), Play Therapy. Diakses dari www. A4pt.org

Landreth, G.L., 2001, Innovations in Play Therapy: Issues, Process, and Special Populations, Philadelphia, Brounner-Routledge

Lyytinen, P., Dikkens, A. M., dan Laakso, M.L. 1997. Language and Symbolic Play in Toddlers. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 21. No. 2, 289-302.

McConnell, R.S., 2002. Interventions to Facilitate Social Interaction for Young Children with Autism: Review of Available Research and Recommendations for Educational Intervention and Future Research. Journal of Autism and Developmental Disorders. Vol. 32. No. 5, October 2002, 351-372

National Institute of Mental Health (NIMH), 1999. Questions and Answers. NIMH Multimodal Treatment Study of Children with ADHD. Bethesda, MD: NIMH

Openheim, D. 1997. The Attachment Doll-Play Interview for Preschoolers. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 20. No. 4, 681-697.

Schaefer,C.E., Gitlin, K, & Sandgrund., 1991, Play Diagnosis & Assessment, Canada: John Wiley & Sons

Sugiarto, S, Prambahan, D.S., & Pratitis, N.T., 2004, Pengaruh Social Story terhadap Kemampuan Berinteraksi Sosial pada Anak Autis, Anima, Vol. 19, N0. 3, 250-270

Sukmaningrum, E., 2001, Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca Trauma pada Anak, Jurnal Psikologi, Vol. 8, No. 2, 14-23

U.S. Department of Education. 2003. Identifying and Treating Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Resourse for School and Home. From: www.ed.gov/offices/OSERS/OSEP.



DEFINISI, PENYEBAB, DAN KARAKTERISTIK PERILAKU ANAK ADHD
Gangguan yang berupa kurangnya perhatian dan kiperaktivitas atau yang lebih dikenal dengan Attention Deficits Hiperactivity Disorder (ADHD) dapat kita temui dalam banyak bentuk dan perilaku yang tampak. Sampai saat ini ADHD masih merupakan persoalan yang kontroversial dan banyak dipersoalkan di dunia pendidikan. Beberapa bentuk perilaku yang mungkin pernah kita lihat seperti: seorang anak yang tidak pernah bisa duduk di dalam kelas, dia selalu bergerak; atau anak yang melamun saja di kelas, tidak dapat memusatkan perhatian kepada proses belajar dan cenderung tidak bertahan lama untuk menyelesaikan tugas; atau seorang anak yang selalu bosan dengan tugas yang dihadapi dan selalu bergerak ke hal lain.
ADHD sendiri sebenarnya adalah kondisi neurologis yang menimbulkan masalah dalam pemusatan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas, dimana tidak sejalan dengan perkembangan usia anak. Jadi disini, ADHD lebih kepada kegagalan perkembangan dalam fungsi sirkuit otak yang bekerja dalam menghambat monitoring dan kontrol diri, bukan semata-mata gangguan perhatian seperti asumsi selama ini. Hilangnya regulasi diri ini mengganggu fungsi otak yang lain dalam memelihara perhatian, termasuk dalam kemampuan membedakan reward segera dengan keuntungan yang akan diperoleh di waktu yang akan datang (Barkley, 1998).
Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat dikelompokkan dalam 2 kategori utama, yaitu: kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas.
Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. Ketidakmampuan memperhatikan detil atau melakukan kecerobohan dalam mengerjakan tugas, bekerja, atau aktivitas lain.
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. Kadang terlihat tidak perhatian ketika berbicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas
e. Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas
f. Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas yang memerlukan proses mental yang lama, misalnya: tugas sekolah
g. Sering kehilangan barang miliknya, misal: mainan, pensil, buku, dll
h. Mudah terganggu stimulus dari luar
i. Sering lupa dengan aktivitas sehari-hari

Sedangkan hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam perilaku:
a. gelisah atau sering menggeliat di tempat duduk
b. sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau situasi lain dimana seharusnya duduk tenang
c. berlari berlebihan atau memanjat-manjat yang tidak tepat situasi (pada remaja atau dewasa terbatas pada perasaan tidak dapat tenang/gelisah)
d. kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
e. seolah selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
f. berbicara terlalu banyak
g. sering menjawab pertanyaan sebelum selesai diberikan. (Impulsivitas)
h. kesulitan menunggu giliran (Impulsivitas)
i. menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain (Impulsivitas)

Terkadang gejala tersebut juga diikuti oleh agresivitas dalam bentuk:
a. sering mendesak, mengancam, atau mengintimidasi orang lain
b. sering memulai perkelahian
c. menggunakan senjata tajam yang dapat melukai orang lain
d. berlaku kasar secara fisik terhadap orang lain
e. menyiksa binatang
f. menyanggah jika dikonfrontasi dengan korbannya
g. memaksa orang lain melakukan aktivitas seksual

Menurut DSM-IV definisi ADHD sendiri adalah sebagai berikut:
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan

B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau pekerjaan)
D. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
E. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).

Gejala-gejala yang muncul sebagai bentuk kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas terkadang berpengaruh terhadap pengalaman belajar anak karena anak yang menunjukkan gejala-gejala tersebut biasanya akan terlihat selalu gelisah, sulit duduk dan bermain dengan tenang, kesulitan terlibat dalam kegiatan yang mengharuskan antri, menjawab pertanyaan sebelum selesai ditanyakan, kesulitan mengikuti instruksi detail, kesulitan memelihara perhatian dalam waktu panjang ketika mengerjakan tugas, dan sering salah meletakkan barang.
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa gejala-gejala pada anak ADHD muncul karena mereka tidak dapat menghambat respon-respon impulsif motorik terhadap input-input yang diterima, bukan ketidakmampuan otak dalam menyaring input sensoris seperti cahaya dan suara (Barkley, 1998).
Walaupun banyak penelitian sudah dilakukan namun sampai saat ini para ahli belum yakin apa penyebab ADHD, namun mereka curiga bahwa sebabnya berkait dengan aspek genetik atau biologis, walaupun mereka juga percaya bahwa lingkungan tumbuh anak juga menentukan perilaku spesifik yang terbentuk. Beberapa faktor yang banyak diduga memicu munculnya gejala ADHD adalah: kelahiran prematur, penggunaan alkohol dan tembakau pada ibu hamil, dan kerusakan otak selama kehamilan. Beberapa faktor lain seperti zat aditif pada makanan, gula, ragi, atau metode pengasuhan anak yang kering juga diduga mendukung munculnya gejala ADHD walaupun belum didukung fakta yang meyakinkan.
TRITMEN BAGI ANAK ADHD
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan ADHD, namun telah tersedia beberapa pilihan tritmen yang telah terbukti efektif untuk menangani anak-anak dengan gejala ADHD. Strategi penanganan tersebut melibatkan aspek farmasi, perilaku, dan metode multimodal.
Metode perubahan perilaku bertujuan untuk memodifikasi lingkungan fisik dan sosial anak untuk mendukung perubahan perilaku (AAP, 2001). Pihak yang dilibatkan biasanya adalah orang tua, guru, psikolog, terapis kesehatan mental, dan dokter. Tipe pendekatan perilakuan meliputi training perilaku untuk guru dan orang tua, program yang sistematik untuk anak (penguatan positif dan token economy), terapi perilaku klinis (training pemecahan masalah dan ketrampilan sosial), dan tritmen kognitif-perilakuan/CBT (monitoring diri, self-reinforcement, instruksi verbal untuk diri sendiri, dan lain-lain) (AAP, 2001).
Metode farmasi meliputi penggunaan psikostimulan, antidepresan, obat untuk cemas, antipsikotik, dan stabilisator suasana hati (NIMH, 2000). Harus diperhatikan bahwa penggunaan obat-obatan ini harus dibawah pengawasan ketat dokter dan ahli farmasi yang terus-menerus melakukan evaluasi terhadap efektivitas penggunaan dan dampaknya terhadap subjek tertentu.
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk menangani anak ADHD adalah dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan dan metode penanganan. Penelitian yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak ADHD menunjukkan bahwa kombinasi terapi obat dan perilaku lebih efektif dibandingkan jika digunakan sendiri-sendiri. Tritmen multimodal khususnya efektif untuk meningkatkan ketrampilan sosial pada anak-anak ADHD yang diikuti gejala kecemasan atau depresi. Ternyata dosis obat yang digunakan lebih rendah jika diikuti dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku.

TERAPI “BACK IN CONTROL (BIC)”
Program terapi “Back in Control” dikembangkan oleh Gregory Bodenhamer. Program terapi ini unik karena dikatakan lebih baik daripada intervensi reward/punishment bagi anak-anak dengan ADHD. Program ini berbasis kepada sistem yang berdasar pada aturan, jadi tidak tergantung pada keinginan anak untuk patuh. Jadi, program ini lebih kepada sistem training bagi orang tua yang kemudian diharapkan dapat menciptakan sistem tata aturan yang berlaku dirumah sehingga dapat merubah perilaku anak. Demi efektivitas program, maka nantinya orang tua akan bekerja sama dengan pihak sekolah untuk melakukan proses yang sama bagi anaknya, ketika dia di sekolah. Orang tua harus selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan dan konsisten atas program yang dijalankan. Begitu juga ketika program ini dilaksanakan bersama-sama dengan pihak sekolah maka orang tua sangat memerlukan keterlibatan guru dan petugas di sekolah untuk melakukan proses monitoring dan evaluasi.
Dalam program ini, tugas orang tua adalah:
1. Orang tua mendefinisikan aturan secara jelas dan tepat (kita perjelas apa yang kita mau, tidak kurang tidak lebih). Kita buat aturan sejelas mungkin sehingga pengasuh pun dapat mendukung pelaksanaannya tanpa banyak penyimpangan.
2. Jalankan aturan tersebut dengan ketat.
3. Jangan memberi imbalan atau hukuman pada sebuah aturan. Jalankan saja.
4. Jangan pernah berdebat dengan anak tentang sebuah aturan. Gunakan kata-kata kunci yang tidak akan diperdebatkan, misalnya “kamu harus….meskipun…..”

Beberapa masalah yang muncul dalam pelaksanaan program ini antara lain :
1. Kebanyakan orang tua kurang bersedia memberikan reward, sedikit yang benar-benar tidak memberikan hukuman.
2. Kebanyakan orang tua kesulitan menahan untuk berteriak ketika marah kepada anak mereka. Sebenarnya, hal ini justru membuat anak merasa menang dan mengalihkan anak dari aturan yang sebenarnya.

Demikian paparan ringkas tentang terapi BIC untuk penyandang ADHD dan untuk lebih jelasnya, saya mencoba menyusun satu program untuk satu kasus ADHD sebagai ilustrasi bagaimana terapi BIC diterapkan.

ILUSTRASI : KASUS BONA
Bona adalah anak laki-laki berusia 5 tahun dan bersekolah di sebuah TK ternama di Yogya. Penampilan fisiknya gemuk dan tinggi, jauh lebih besar dibandingkan teman-teman seusianya. Ayah ibunya bekerja sebagai karyawan swasta yang bekerja sepanjang hari sehingga Bona lebih banyak diasuh pembantunya. Bona dibawa ke sebuah biro konsultasi psikologi oleh ibunya karena adanya keluhan yang disampaikan pembantu, para tetangga, dan terutama guru-guru di sekolahnya. Pembantu rumah tangga di keluarga tersebut sering sekali berganti karena kebanyakan dari mereka tidak tahan dengan perilaku Bona yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi.
Orang tua Bona sering merasa tidak nyaman dan serba salah dengan tetangga karena hampir setiap hari ada saja tetangga yang mengadu tentang perilaku Bona kepada anak-anak mereka. Perilaku Bona yang merebut mainan temannya hingga rusak, Bona yang memukul temannya hingga benjol, Bona yang melempar-lempar batu mengenai kaca tetangga, sampai Bona yang memanjat pagar tetangga dan merusakkan tanaman hias mereka, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sementara itu guru di sekolah juga sering sekali menyampaikan keluhan tentang perilaku Bona di sekolah, bahkan Bona beberapa kali diantarkan pulang guru sebelum waktunya. Di sekolah, Bona terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena setiap kali Bona diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas. Ketika teman-temannya belajar mewarnai atau menggambar maka Bona akan meninggalkan kertas gambarnya dalam keadaan kosong atau dengan sedikit coretan yang terlihat asal-asalan. Bona juga sulit sekali diminta melakukan sesuatu oleh gurunya karena setiap kali gurunya berbicara, Bona tidak tahan mendengarkannya sampai selesai. Juga ketika guru mengajukan pertanyaan, terkadang Bona berteriak menjawab meski pertanyaan belum selesai, dan akhirnya jawabannya pun tidak tepat. Beberapa waktu terakhir bahkan gurunya secara implisit menyatakan bahwa Bona sebaiknya di pindah ke sekolah lain yang dapat menanganinya dengan lebih baik karena guru-guru di sekolahnya yang sekarang sudah kewalahan. Orang tuanya bingung sekali dengan kondisi ini sehingga merasa perlu minta bantuan tenaga terapis anak untuk membantu. Mengingat bahwa Bona adalah anak tunggal dan efek dari perilakunya sudah dipandang meresahkan maka ibunya berniat cuti selama beberapa bulan dari pekerjaannya untuk mengatasi masalah anaknya ini.

PROSES TATA LAKSANA PERILAKU BAGI BONA
A. TARGET PERILAKU
Mengingat usia Bona yang 5 tahun dimana kebutuhan sosialisasinya dengan teman sebaya sudah cukup tinggi dan hampir memasuki usia sekolah, sementara Bona masih memiliki masalah dalam memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas, maka beberapa perilaku yang menjadi target dalam perubahan perilaku ini adalah:
1. Mampu membereskan mainan dan barang-barang milik Bona sendiri.
2. Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai.
3. Mengerjakan aktivitas sampai selesai.
Karena program ini berbasis pada sistem aturan maka perilaku yang menjadi target dapat beberapa (tidak hanya satu) dengan catatan setiap target perilaku akan dibuatkan aturan yang detil dan jelas tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan (dalam program yang direncanakan).

B. RENCANA WAKTU
Waktu yang direncanakan adalah 6 bulan, mengingat bahwa selama waktu itu ibunya akan cuti dari kantor dan dapat secara penuh terlibat dalam program ini untuk terus berada di samping Bona. Waktu 6 bulan ini akan dibagi dalam beberapa tahap untuk memudahkan proses monitoring dan evaluasi.
Tahap pertama adalah training yang dilaksanakan oleh terapis bagi orang tua Bona untuk melatih mereka agar dapat menciptakan aturan dan mengelola program di rumah. Training ini dilakukan selama 1 minggu dilanjutkan dengan membuat program.
Minggu kedua orang tua Bona mulai membuat aturan-aturan yang harus dipatuhi Bona di rumah dengan kontrol dari seluruh warga rumah termasuk pembantu. Jadi seluruh aturan ini secara detil dan jelas disosialisasikan kepada semua orang di rumah. Untuk memudahkan sosialisasi, orang tua Bona menempelkan aturan-aturan tersebut di beberapa tempat di dinding rumah.
Sejalan dengan sosialisasi maka aturan mulai dijalankan dengan monitoring setiap saat oleh ibunya Bona dibantu siapa saja yang di rumah. Evaluasi dilakukan oleh orang tua bersama pembantu setiap hari dan oleh orang tua bersama terapis setiap akhir minggu.

C. PELAKSANA PROGRAM
Program ini dilaksanakan oleh Ibu Bona sebagai manajer program dibantu oleh seluruh anggota keluarga dengan didampingi terapis anak sebagai pemandu program dan nara sumber proses.

D. PROGRAM YANG DIRENCANAKAN
Berdasarkan target perilaku tersebut di bagian A maka dibuatlah aturan-aturan yang detil tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan dari Bona, yaitu:
1. Membereskan mainan dan barang milik Bona sendiri.
Aturan:
a. Memasukkan pensil, penghapus, dan buku ke tas setelah digunakan. (Tidak meninggalkan pensil, penghapus, dan buku di meja belajar, meja tamu, atau di ruang lain)
b. Mengembalikan mainan ke wadahnya setelah digunakan. (Tidak melempar-lempar mainan jika tidak digunakan. Jika melempar-lempar maka harus mengambil kembali dan dikembalikan ke wadahnya.)
2. Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai.
Aturan:
a. Menunggu Bapak, Ibu, pembantu, atau teman selesai ketika sedang berbicara tanpa memotong.
b. Tidak pergi ketika Bapak, Ibu, teman, atau pembantu sedang berbicara kepada Bona.
c. Menjawab pertanyaan Bapak, Ibu, teman, atau pembantu jika sudah selesai diucapkan. (Tidak menjawab pertanyaan sebelum selesai.)
d. Menatap wajah Bapak, Ibu, teman, atau pembantu yang sedang berbicara kepada Bona. (Tidak memalingkan muka ketika diajak berbicara.)
3. Mengerjakan aktivitas sampai selesai.
Aturan:
a. Memasang-masang mainan lego sampai berbentuk sesuatu baru dilepas kembali. (Tidak berganti mainan sebelum selesai dimainkan.)
b. Menggambar sampai selesai. (Tidak berganti kertas gambar atau meninggalkannya sebelum gambar selesai dibuat.)
c. Mewarnai bentuk sampai selesai baru berganti kertas.
d. Makan sambil duduk sampai selesai. (Tidak makan sambil berlari-lari keluar rumah.)
Keseluruhan aturan ini disampaikan kepada Bona dengan jelas dan harus yakin bahwa Bona mengerti dengan jelas yang dimaksud dengan aturan ini. Aturan ini kemudian ditulis besar-besar dan ditempel di beberapa bagian rumah, seperti di kamar Bona, ruang bermain, dan dapur untuk selalu mengingatkan orang tua dan pembantu agar terus mendorong pelaksanaan aturan tersebut secara konsisten.

E. EVALUASI PROGRAM
Program bagi Bona ini akan selalu dievaluasi dan dimonitor menggunakan lembar evaluasi dan lembar monitoring yang dibuat saat perencanaan program (contoh lembar evaluasi dan lembar monitoring terlampir). Evaluasi dan monitoring dilakukan ibu Bona sebagai manajer program dan secara berkala akan didiskusikan bersama terapis untuk melihat efektivitas dan kemajuan program.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (4th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association.

Barkley, R. A. (September, 1998). Attention-deficit hyperactivity disorder. Scientific
American, 279: 3.

Barkley, R. A. (1998). Handbook of Attention Deficit Hyperactivity Disorder (2nd ed.).
New York: Guilford Press.

Cantwell, D. P., & Baker, L. (1991). Association between attention deficit-hyperactivity
disorder and learning disorders. Journal of Learning Disabilities, 24, 88-95.

Carlson, C. L., Pelham, W. E., Jr., Milich, R., & Dixon, J. (1992). Single and combined
effects of methylphenidate and behavior therapy on the classroom performance of children with attention-deficit hyperactivity disorder. Journal of Abnormal Child Psychology, 20, 213-232.

DSM-III-R symptoms for the disruptive behavior disorders. Journal of the American
Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 31, 210-218.

Hinshaw, S. P., Owens, E. B., Wells, K. C., Kraemer, H. C., Abikoff, H. B., Arnold, L. E., et
al. (2000). Family processes and treatment outcome in the MTA: Negative/ineffective
parenting practices in relation to multimodal treatment. Journal of Abnormal Child
Psychology, 28(6), 555-568.

Jensen, P. S., Martin, D., & Cantwell, D. (1997). Comorbidity in ADHD: Implications for
research, practice, and DSM-IV. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry, 36(8), 1065-1079.

Jensen, P. S., Hinshaw, S. P., Kraemer, H. C., Lenora, N., Newcorn, J. H., Abikoff, H. B., et
al. (2001). ADHD Comorbidity findings from the MTA Study: Comparing Comorbid
Subgroups. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry, 40(2), 147-158.

MTA Cooperative Group. (1999a). Fourteen-month randomized clinical trial of treatment
strategies for attention-deficit hyperactivity disorder. Archives of General Psychiatry, 56,1073-1086.

National Institute of Mental Health (NIMH). (1999). Questions and answers. NIMH
Multimodal Treatment Study of Children With ADHD. Bethesda, MD: NIMH.

National Institute of Mental Health. (2000). NIMH Research on Treatment for Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD): The Multimodal Treatment Study—Questions and Answers. [Online]. Available: www.nimh.nih.gov/events/mtaqa.cfm.



www.http://klinis.wordpress.com

No comments:

Post a Comment